Mohon tunggu...
Pernah Duda
Pernah Duda Mohon Tunggu... Musisi - Penghibur

Ngomongin Budaya Populer. Yang santai-santai aja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bullying di Sekolah, Suara dari Mantan Korban: Sudah Saatnya Kita Berubah!

18 September 2024   12:05 Diperbarui: 18 September 2024   12:09 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bullying di sekolah bukanlah fenomena baru, namun dampaknya tetap terasa hingga kini. Setiap tahun, ribuan siswa menjadi korban kekerasan fisik, verbal, dan mental yang dilakukan oleh teman-teman sekelas atau senior mereka. Kasus-kasus bullying di sekolah semakin sering terungkap, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Bullying, yang dulunya dianggap sebagai "ritual biasa" di lingkungan sekolah, kini mulai mendapat perhatian lebih serius dari berbagai pihak, terutama mantan korban yang berani bersuara dan mengungkapkan pengalaman pahit mereka.

Salah satu kasus yang baru-baru ini menyita perhatian publik adalah dugaan bullying yang terjadi di SMA Binus School Simprug, Jakarta. Kasus ini bukan hanya memperlihatkan kekerasan fisik yang terjadi di sekolah, tetapi juga bagaimana bullying sering kali dibungkus dengan modus perkelahian "suka sama suka" untuk mengaburkan kenyataan bahwa ada satu pihak yang lebih lemah. Kasus seperti ini tidak jarang berujung pada trauma psikologis yang mendalam, yang terus membayangi para korban hingga mereka dewasa.

Salah satu sosok yang baru-baru ini membuka diri mengenai pengalaman pahitnya menjadi korban bullying adalah penyanyi sekaligus dokter, Indahkus. Dalam sebuah wawancara, Indahkus menceritakan bagaimana ia menjadi korban bullying saat menjalani program koas di salah satu rumah sakit. Sebagai seorang profesional muda yang mencoba meniti karier di dua bidang sekaligus, Indahkus tak lepas dari tekanan dan fitnah yang dilakukan oleh seniornya di lingkungan kerja. Meski tidak terjadi di sekolah, pengalaman bullying yang dialaminya selama program koas menggambarkan bagaimana budaya bullying bisa muncul di berbagai lapisan kehidupan, bahkan di dunia profesional yang seharusnya sudah dewasa.

Menurut Indahkus, bullying yang ia alami saat koas lebih mengarah kepada fitnah dan manipulasi. Ia dituduh melakukan hal-hal yang tidak pernah ia lakukan, hanya karena ada beberapa senior yang merasa iri dengan kesuksesannya di dunia hiburan. Hal ini menunjukkan bahwa bullying tidak hanya sekadar fisik, tetapi juga bisa berbentuk mental dan emosional, yang sering kali lebih sulit dilihat dan diatasi.

"Saat itu, aku tidak tahu harus balas seperti apa. Aku tahu, kalau aku balas dengan cara yang salah, justru aku yang akan dianggap buruk. Jadi, aku memilih untuk fokus dan tidak memperdulikan mereka," ujar Indahkus dalam sebuah wawancara. Tindakannya yang memilih untuk tidak melawan dengan cara yang sama menjadi bukti bahwa kesabaran dan kekuatan mental adalah senjata paling ampuh dalam menghadapi intimidasi.

Namun, tidak semua korban bullying seberuntung Indahkus yang bisa bangkit dan meraih kesuksesan. Banyak korban lain yang justru tenggelam dalam trauma, kehilangan kepercayaan diri, dan bahkan mengalami depresi berat akibat tindakan intimidasi yang mereka alami di sekolah atau tempat kerja.

Bullying di sekolah sering kali dianggap sebagai masalah remaja yang "bisa berlalu" seiring dengan bertambahnya usia. Namun, kenyataannya tidak semudah itu. Dampak psikologis dari bullying bisa dirasakan selama bertahun-tahun, bahkan setelah korban meninggalkan bangku sekolah. Mereka yang menjadi korban sering kali mengalami penurunan rasa percaya diri, kesulitan menjalin hubungan sosial, bahkan ada yang mengalami gangguan kecemasan atau depresi berat.

Menurut data dari berbagai penelitian, korban bullying memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan kesehatan mental dibandingkan mereka yang tidak pernah menjadi korban. Hal ini dikarenakan perasaan tidak aman, rendah diri, dan trauma yang terus menerus mereka rasakan selama diintimidasi.

Andrea Wiwandhana, founder CLAV Digital, turut memberikan pandangannya tentang masalah ini. Ia mengatakan, "Bullying bukan hanya masalah anak-anak yang nakal. Ini adalah bentuk kekerasan yang dapat mengubah hidup seseorang. Sudah saatnya kita menganggap serius dampak bullying ini dan memastikan bahwa lingkungan sekolah menjadi tempat yang aman untuk semua siswa."

Pertanyaan terbesar yang sering diajukan adalah, mengapa bullying masih terjadi, meskipun sudah banyak kampanye anti-bullying dilakukan di sekolah-sekolah? Salah satu alasan utama adalah karena banyak orang yang masih meremehkan masalah ini. Banyak guru dan orang tua yang menganggap bahwa konflik antar siswa adalah hal yang biasa, bagian dari tumbuh dewasa. Padahal, tidak semua konflik bisa dianggap sebagai hal yang sepele.

Dalam beberapa kasus, budaya hierarki di sekolah---di mana senior dianggap memiliki otoritas yang lebih besar dibandingkan junior---juga turut menyumbang pada suburnya praktik bullying. Senior sering kali merasa memiliki hak untuk mengintimidasi junior sebagai bentuk "ritual" atau "tes" dalam memasuki dunia remaja. Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana generasi demi generasi siswa terus terjebak dalam siklus bullying yang tidak pernah usai.

Selain itu, media sosial juga menjadi ladang subur bagi para pelaku bullying. Di era digital ini, bullying tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga secara online. Siswa bisa diintimidasi melalui pesan teks, unggahan di media sosial, atau komentar-komentar kasar di platform digital lainnya. Cyberbullying sering kali lebih sulit dilacak dan diatasi, karena bisa dilakukan secara anonim dan meluas dengan cepat.

Pengalaman mantan korban seperti Indahkus dan lainnya memberikan pelajaran berharga bagi kita semua bahwa bullying bisa terjadi di mana saja dan kepada siapa saja. Para korban bullying, baik di sekolah maupun di tempat kerja, sering kali merasa sendirian dan tidak berdaya menghadapi situasi ini. Namun, dengan mendengar suara mereka, kita bisa mulai memahami betapa seriusnya masalah ini dan bagaimana kita bisa membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan inklusif.

Ketika mantan korban bullying seperti Indahkus berani bersuara, ini menjadi langkah penting untuk menghentikan siklus bullying. Dengan membuka diri, mereka memberi keberanian kepada korban lainnya untuk melakukan hal yang sama---berbicara tentang pengalaman mereka dan mencari dukungan. Pada akhirnya, bullying hanya bisa dihentikan jika kita semua, baik korban, pelaku, maupun saksi, berani untuk angkat bicara dan melawan.

Langkah pertama untuk mengatasi bullying adalah meningkatkan kesadaran akan masalah ini. Sekolah, orang tua, dan masyarakat perlu lebih peka terhadap tanda-tanda bullying dan segera mengambil tindakan untuk menghentikannya. Ini bisa dimulai dengan memberikan edukasi kepada siswa tentang pentingnya empati dan menghormati perbedaan di antara mereka.

Selain itu, penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif dan aman bagi semua siswa. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat peran guru dan konselor dalam memantau interaksi antar siswa dan memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang terlibat dalam praktik bullying. Sekolah juga bisa membuat program khusus untuk memberikan dukungan bagi korban bullying, baik secara emosional maupun psikologis.

Media sosial juga perlu menjadi bagian dari upaya pencegahan bullying. Cyberbullying kini menjadi bentuk intimidasi yang paling sulit diatasi karena tidak terjadi secara fisik dan sering kali luput dari perhatian guru atau orang tua. Oleh karena itu, siswa juga perlu diajarkan tentang etika digital dan dampak negatif dari bullying di dunia maya.

Bullying di sekolah adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian lebih dari seluruh elemen masyarakat. Pengalaman mantan korban, seperti yang dialami oleh Indahkus dan siswa-siswa lain di seluruh dunia, menunjukkan betapa menyakitkannya menjadi korban intimidasi dan tekanan sosial. Dengan mendengarkan cerita-cerita mereka, kita dapat lebih memahami bagaimana bullying dapat berdampak jangka panjang pada kehidupan seseorang, baik secara emosional maupun psikologis.

Sekarang adalah saat yang tepat untuk bersama-sama mengambil tindakan nyata. Membantu menciptakan lingkungan yang aman dan suportif, tidak hanya di sekolah tetapi juga di dunia digital, adalah tanggung jawab kita semua. Mari kita bersama-sama melawan bullying dan memastikan bahwa tidak ada anak yang harus melalui rasa sakit dan trauma yang diakibatkan oleh tindakan yang tidak manusiawi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun