Dalam beberapa kasus, budaya hierarki di sekolah---di mana senior dianggap memiliki otoritas yang lebih besar dibandingkan junior---juga turut menyumbang pada suburnya praktik bullying. Senior sering kali merasa memiliki hak untuk mengintimidasi junior sebagai bentuk "ritual" atau "tes" dalam memasuki dunia remaja. Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana generasi demi generasi siswa terus terjebak dalam siklus bullying yang tidak pernah usai.
Selain itu, media sosial juga menjadi ladang subur bagi para pelaku bullying. Di era digital ini, bullying tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga secara online. Siswa bisa diintimidasi melalui pesan teks, unggahan di media sosial, atau komentar-komentar kasar di platform digital lainnya. Cyberbullying sering kali lebih sulit dilacak dan diatasi, karena bisa dilakukan secara anonim dan meluas dengan cepat.
Pengalaman mantan korban seperti Indahkus dan lainnya memberikan pelajaran berharga bagi kita semua bahwa bullying bisa terjadi di mana saja dan kepada siapa saja. Para korban bullying, baik di sekolah maupun di tempat kerja, sering kali merasa sendirian dan tidak berdaya menghadapi situasi ini. Namun, dengan mendengar suara mereka, kita bisa mulai memahami betapa seriusnya masalah ini dan bagaimana kita bisa membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan inklusif.
Ketika mantan korban bullying seperti Indahkus berani bersuara, ini menjadi langkah penting untuk menghentikan siklus bullying. Dengan membuka diri, mereka memberi keberanian kepada korban lainnya untuk melakukan hal yang sama---berbicara tentang pengalaman mereka dan mencari dukungan. Pada akhirnya, bullying hanya bisa dihentikan jika kita semua, baik korban, pelaku, maupun saksi, berani untuk angkat bicara dan melawan.
Langkah pertama untuk mengatasi bullying adalah meningkatkan kesadaran akan masalah ini. Sekolah, orang tua, dan masyarakat perlu lebih peka terhadap tanda-tanda bullying dan segera mengambil tindakan untuk menghentikannya. Ini bisa dimulai dengan memberikan edukasi kepada siswa tentang pentingnya empati dan menghormati perbedaan di antara mereka.
Selain itu, penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif dan aman bagi semua siswa. Hal ini bisa dilakukan dengan memperkuat peran guru dan konselor dalam memantau interaksi antar siswa dan memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang terlibat dalam praktik bullying. Sekolah juga bisa membuat program khusus untuk memberikan dukungan bagi korban bullying, baik secara emosional maupun psikologis.
Media sosial juga perlu menjadi bagian dari upaya pencegahan bullying. Cyberbullying kini menjadi bentuk intimidasi yang paling sulit diatasi karena tidak terjadi secara fisik dan sering kali luput dari perhatian guru atau orang tua. Oleh karena itu, siswa juga perlu diajarkan tentang etika digital dan dampak negatif dari bullying di dunia maya.
Bullying di sekolah adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian lebih dari seluruh elemen masyarakat. Pengalaman mantan korban, seperti yang dialami oleh Indahkus dan siswa-siswa lain di seluruh dunia, menunjukkan betapa menyakitkannya menjadi korban intimidasi dan tekanan sosial. Dengan mendengarkan cerita-cerita mereka, kita dapat lebih memahami bagaimana bullying dapat berdampak jangka panjang pada kehidupan seseorang, baik secara emosional maupun psikologis.
Sekarang adalah saat yang tepat untuk bersama-sama mengambil tindakan nyata. Membantu menciptakan lingkungan yang aman dan suportif, tidak hanya di sekolah tetapi juga di dunia digital, adalah tanggung jawab kita semua. Mari kita bersama-sama melawan bullying dan memastikan bahwa tidak ada anak yang harus melalui rasa sakit dan trauma yang diakibatkan oleh tindakan yang tidak manusiawi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H