SETAHUN lalu, Mama Dayat, mama sepuh di Desa Gudang di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, desa tempat penulis lahir dan besar, meninggal dunia karena usia.
Banyak petuah yang pernah disampaikan Mama Dayat yang disampaikan kepada penulis, selain beberapa barang berupa isim.
Salahsatu yang selalu penulis ingat adalah soal pengeras suara di masjid Gudang.
Penulis ingat, Mama Dayat, semasa hidupnya termasuk anti menggunakan pengeras suara di masjid Gudang.
"Untuk mengabari waktunya solat ke luar, cukup pakai bedug. Dengan bedug, muslim sudah tahu, bahwa waktu solat tiba," demikian ujar Mama Dayat suatu ketika. Penulis karena ada ikatan saudara, cukup dekat dengan beliau.
"Cara itu merupakan cara para wali dulu dan para guru," imbuhnya.
Ketika penulis pulang tinggal kembali di Gudang setelah beberapa tahun berada di luar karena tugas, penulis tahu di masjid sudah ada pengeras suara.
Mama Dayat sepertinya paham bahwa soal itu jadi perhatian penulis.
Usai solat berjamaah, Mama Dayat menjelaskan bahwa di mesjidnya sekarang memang ada pengeras suara.
Tapi, katanya, itu bukan untuk mengabarkan waktu solat tiba dengan memperdengarkan suara azan. Pengeras suara hanya digunakan dia untuk berceramah dalam solat Jumat. Itupun, suaranya hanya cukup terdengar untuk lingkungan masjid saja, tidak memakai "suara luar".
"Juga agar bahasan mama terdengar oleh yang solat Jumat di teras. Suara mama kan sudah mulai pelan," ujarnya.
Penulis mengangguk. Dalam pemikian, menggunakan pengeras suara untuk memperdengarkan azan pun tidak apa-apa. Toh yang lain pun sudah seperti itu.
Dan memang benar. Walaupun ada pengeras suara sumbangan dari seseorang, Mesjid Gudang tidak seperti yang lain.
Mengabari waktunya solat tetap menggunakan bedug --yang tidak disambungkan dengan pengeras suara. Suara azan pun cukup terdengar untuk yang berada di dalam masjid atau sekitaran masjid saja.
Mama Gudang, sepertinya memang berpegang pada amanat guru-gurunya, bahwa azan tak perlu dikumandangkan menggunakan pengeras suara, toa, spiker dan yang lainnya.
Ketika di desa Gudang banyak berdiri masjid, termasuk di dusun tidak jauh dari Mesjid Gudang, dan masjid-mesjid itu selalu berlomba mengumandangkan azan ketika waktu solat tiba --bahkan sering terdengar bersahutan, Mama Gudang, bersikukuh dengan pendiriannya.
Masjid Gudang yang letaknya di sisi jalan raya dan berdekatan dengan Yadika, masih tetap menggunakan bedug. Sementara azan hanya terdengar oleh yang ada di dalam masjid saja, atau rumah sekitar masjid.
Setelah Mama Gudang meninggal dunia, "tradisi" itu diteruskan oleh Haji Totoh, anaknya yang kemudian mengurus masjid.
Kini, ketika persoalan pengeras suara menjadi ramai, penulis tiba-tiba teringat kepada Mama Dayat (Alfatihah untuk Beliau).
Sayangnya Beliau memang sudah meninggal dunia. Kalau masih ada, penulis mungkin akan bertanya, apakah istilah gonggongan anjing seperti disampaikan Menteri Agama terkait azan itu tepat atau berlebihan?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H