Masuknya ke HU Pikiran Rakyat dan menjadi wartawan daerah di Ciamis, menyebabkan saya harus meninggalkan Mingguan Galura. Saya ada di Galura, kurang lebih lima tahun.
Di Galura, saya banyak belajar dari wartawan dan penulis hebat. Di Galura, perlu diketahui ada Kang Us Tiarsa, sastrawan Sunda yang juga sempat jadi Ketua PWI Jabar, Kang Abdullah Mustapa, sastrawan dan penulis kritis hebat, Kang Eddy D. Iskandar, sartrawan dan penulis novel dam penulis skenario terkenal, Kang Aan Merdeka Permana, sastrawan Sunda yang pernah beberapa kali mengajak saya liputan ke daerah, dan hingga kini masih aktif menulis novel sejarah. Juga ada Kang Rosyid E. Abby, sastrawan Sunda yang banyak bergelut di teater.
Selain itu, ada juga rekan seangkatan teman diskusi yang diberi kebebasan berekspresi untuk menentukan isi Galura, oleh Kang Us Tiarsa dan Kang Abdullah Mustapa. Mereka adalah Nanang Supriatna dan Usman Supendi (kini doktor di Uninus Bandung). Usman yang waktu itu tengil, jahil, menjuliki Nanang dengan "Gus Dur" karena Nanang berkacamata tebal.
Saya dengan Nanang  sering bermalam di Kantor Redaksi Galura Jalan Banceuy, untuk mengerjakan laporan utama. Kami juga kerap mengadakan liputan bersama. Nanang sejak dulu memang ditugaskan menggawangi liputan utama dan yang berat-berat lainnya. Sedangkan Usman jarang mondok di kantor, karena dia punya kontrakan di kawasan Pangarang.
Usdi (kependekan Usman Supendi), Â waktu itu punya tugas utama menulis hiburan dan mewawacari artis terkenal di Jakarta, bersama Ratna Djuwita. Sedangkan saya, selain mengisi laporan utama membantu Nanang, Â juga kerap diberi tugas khusus oleh Kang Eddy D. Iskandar untuk meliput pertandingan Persib Bandung bersama fotografer Herry KS (almarhum), dan mengisi liputan ringan untuk halaman remaja, Mupu Kembang.
Di Galura, terus terang, saya memperoleh fasilitas dan penghasilan yang cukup ketika itu. Walaupun status saya koresponden, saya diberi fasilitas telepon oleh Kang Us Tiarsa. Semula Kang Us menawari saya pager, untuk komunikasi. Tapi saya meminta telefon rumah saja.
Selain itu, saya juga mendapat honor tetap Rp 175 ribu per minggu dan diterima tiap hari Rabu. Tahun 1990-an, kalau tidak salah, harga emas kurang dari Rp 20 ribu per gramnya. Dengan honor itu, istri saya hampir tiap minggu membeli emas.
Karena itulah, saya sebenarnya berat hati meninggalkan Galura, walaupun saya pindah tugas ke induknya.
Dalam benak, sebelum berangkat ke Ciamis atau jika ada waktu senggang, saya akan pamitan secara khusus kepada seluruh jajajaran di Galura. Betapapun, Galura, berjasa besar membentuk saya sebagai wartawan. Rencananya saya akan mengajak botram di kantor, dengan menu asin, jengkol dan sambal dadakan Kang Aan Merdeka Permana.
Tapi rencana itu tidak pernah terwujudkan.