Pelatihan kilat dan pembekalan lain dari awak redaksi HU Pikiran Rakyat dan manajemen PT Pikiran Rakyat akhirnya tuntas. Tibalah saatnya penugasan wartawan baru ke daerah. Saya ternyata ditugaskan di Ciamis, untuk membantu SK Priangan di wilayah Ciamis.
Ada tiga orang yang ditugaskan di Ciamis. Selain saya, ada Yedi Supriyadi dan Abdul Rochim, sebelum pindah ke Fajar Banten. Dengan dikirimnya saya ke Ciamis, maka di Tatar Galuh ada lima wartawan HU Pikiran Rakyat. Sebelumnya di Ciamis ada senior Kang Rahmat Taufik dan Kang Suherman DS (almarhum).
Selain saya, Yedi dan Abdul Rohim, wartawan baru yang diberi tugas membantu Kabar Priangan, ada dua orang lagi, yakti Erwin Kustiman dan Irfan Suryadireja. Namun keduanya ditugaskan di wilayah Tasik, langsung di markas Kabar Priangan. Saya sering bertemu mereka, jika diadakan rapat redaksi seminggu sekali.
Usai menerima SK sebagai wartawan HU Pikiran Rakyat bertanggal 7 September 1999, saya berangkat ke Ciamis. Tujuan utama Posko PR di Jalan Jendral Sudirman, sebuah rumah tua yang konon pernah ditinggali Rahayu Efendi, ibunda Dede Macan Yusuf  Efendi yang kini anggota DPR RI. Sebuah rumah yang, saya rasakan, ditunggui makhluk astral. Hehehe.
Bertiga kami tidur di Posko, mengisi beberapa ruangan dan kamar yang ada. Di Posko, dari pagi hingga sore, kami berbaur dengan bagian administrasi PR dan grup PR lainnya, serta dengan sejumlah loper koran. Di posko juga kami mengirimkan berita menggunakan perangkat modem, yang langsung tersambung ke redaksi di Jalan Soekarno-Hatta Bandung.
Tugas kami waktu itu, selain menyuplai berita ke Desk Daerah HU Pikiran Rakyat yang  digawangi Kang Endi Sungkono, juga menyuplai berita ke Sk Priangan yang pemrednya saat itu Kang Wawan Djuwarna. Sebelumnya, Kang Wawan jadi Desk Daerah HU Pikiran Rakyat.
Oh ya, Pikiran Rakyat dulu punya pos komando (Posko) atawa kantor perwakilan di tiap daerah. Hampir semua bangunannya milik perusahaan. Tiap kantor perwakilan punya pimpinannya sendiri dengan tugas utama mengembangkan koran di lingkungan Grup PR.
Khusus di Ciamis, Posko atau kantor perwakilan PR itu, dulunya adalah Kantor Redaksi Mitra Desa (mingguan, masih milik PT PR) yang kemudian berganti nama jadi Mitra Bisnis. Saya sebelum masuk ke Galura dan PR, pernah mengenal Mitra Desa. Mengenal nama senior Rahmat Taufik dan Suherman DS juga, ya dari Mitra Desa.
Selamat tinggal Galura
Masuknya ke HU Pikiran Rakyat dan menjadi wartawan daerah di Ciamis, menyebabkan saya harus meninggalkan Mingguan Galura. Saya ada di Galura, kurang lebih lima tahun.
Di Galura, saya banyak belajar dari wartawan dan penulis hebat. Di Galura, perlu diketahui ada Kang Us Tiarsa, sastrawan Sunda yang juga sempat jadi Ketua PWI Jabar, Kang Abdullah Mustapa, sastrawan dan penulis kritis hebat, Kang Eddy D. Iskandar, sartrawan dan penulis novel dam penulis skenario terkenal, Kang Aan Merdeka Permana, sastrawan Sunda yang pernah beberapa kali mengajak saya liputan ke daerah, dan hingga kini masih aktif menulis novel sejarah. Juga ada Kang Rosyid E. Abby, sastrawan Sunda yang banyak bergelut di teater.
Selain itu, ada juga rekan seangkatan teman diskusi yang diberi kebebasan berekspresi untuk menentukan isi Galura, oleh Kang Us Tiarsa dan Kang Abdullah Mustapa. Mereka adalah Nanang Supriatna dan Usman Supendi (kini doktor di Uninus Bandung). Usman yang waktu itu tengil, jahil, menjuliki Nanang dengan "Gus Dur" karena Nanang berkacamata tebal.
Saya dengan Nanang  sering bermalam di Kantor Redaksi Galura Jalan Banceuy, untuk mengerjakan laporan utama. Kami juga kerap mengadakan liputan bersama. Nanang sejak dulu memang ditugaskan menggawangi liputan utama dan yang berat-berat lainnya. Sedangkan Usman jarang mondok di kantor, karena dia punya kontrakan di kawasan Pangarang.
Usdi (kependekan Usman Supendi), Â waktu itu punya tugas utama menulis hiburan dan mewawacari artis terkenal di Jakarta, bersama Ratna Djuwita. Sedangkan saya, selain mengisi laporan utama membantu Nanang, Â juga kerap diberi tugas khusus oleh Kang Eddy D. Iskandar untuk meliput pertandingan Persib Bandung bersama fotografer Herry KS (almarhum), dan mengisi liputan ringan untuk halaman remaja, Mupu Kembang.
Di Galura, terus terang, saya memperoleh fasilitas dan penghasilan yang cukup ketika itu. Walaupun status saya koresponden, saya diberi fasilitas telepon oleh Kang Us Tiarsa. Semula Kang Us menawari saya pager, untuk komunikasi. Tapi saya meminta telefon rumah saja.
Selain itu, saya juga mendapat honor tetap Rp 175 ribu per minggu dan diterima tiap hari Rabu. Tahun 1990-an, kalau tidak salah, harga emas kurang dari Rp 20 ribu per gramnya. Dengan honor itu, istri saya hampir tiap minggu membeli emas.
Karena itulah, saya sebenarnya berat hati meninggalkan Galura, walaupun saya pindah tugas ke induknya.
Dalam benak, sebelum berangkat ke Ciamis atau jika ada waktu senggang, saya akan pamitan secara khusus kepada seluruh jajajaran di Galura. Betapapun, Galura, berjasa besar membentuk saya sebagai wartawan. Rencananya saya akan mengajak botram di kantor, dengan menu asin, jengkol dan sambal dadakan Kang Aan Merdeka Permana.
Tapi rencana itu tidak pernah terwujudkan.
Rencana membereskan kuliah di STKIP Unsap pun tidak pernah terwujudkan.
Benar, penyebabnya karena saya tidak bisa memenage waktu ketika bertugas sebagai wartawan baru di Tatar Galuh Ciamis. Di Galuh, saya benar-benar fokus ke kerjaan. Siang mencari berita untuk dikirimkan ke redaksi, maksimal jam enam sore. Malamnya, saya kadang membuat tulisan ringan/feature, karena di Ciamis waktu itu banyak hal yang menarik untuk ditulis.
Padahal, jika saya bisa mengatur waktu, semuanya bisa saya lakukan, termasuk menuntaskan kuliah.
Usia saya waktu itu kurang lebih 31 tahun. (Bersambung)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H