Keluarga saya tentu bangga mengetahui saya lolos seleksi ke HU Pikiran Rakyat. Siapa tidak bangga? HU Pikiran Rakyat waktu itu adalah koran dengan tiras besar dan sangat berpengaruh di Jawa Barat. Orang di mana pun, menaruh hormat, termasuk kepada wartawannya.
Rasanya, saya bisa memberi jawaban kepada ibu dan bapak saya (almarhum), setelah  bisa melenggang ke HU Pikiran Rakyat. "Pa, Mah, saya tidak bisa jadi guru karena kuliah belum tuntas, tapi saya bisa masuk ke Pikiran Rakyat," begitu kata saya waktu itu,
Kedua orang tua saya (keduanya pensiunan guru) memang berharap saya jadi guru, meneruskan mereka. Saya diminta kuliah di keguruan di STKIP Unsap Sumedang pun, karena berharap saya jadi guru. Sayangnya kuliah saya terbengkalai karena saya sudah keasyikan mencari duit dari menulis di Galura, Bandung Pos dan PR Minggu.
Bapak saya tersenyum saat saya mengabarkna lolos seleksi PR. Tapi dia tidak berkata apa-apa soal lolosnya saya ke HU Pikiran Rakyat. Â Hanya yang jelas, kedua orang tua saya pun mengetahui betapa besarnya nama HU Pikiran Rakyat yang selalu mereka beli sejak saya masih SMP.
Setelah saya lolos seleksi, saya ingat kapan mengenal PR. Saya ingat, mulai senang membaca PR saat Galungung meletus ( tahun 1982, saat saya sekolah SMP Tanjungsari). Waktu itu, saya selalu menunggu kehadiran Pak Komis (sebutan untuk seorang loper koran di wilayah Tanjungsari) mengirim koran ke rumah. Selain PR, orang tua kadang membeli juga koran Gala dan Koran Sunda Giwangkara .Pak Komis (dijuliki demikian karena pernah bekerja di Kantor Pos Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat) memang selalu datang walau hujan abu masih turun beberapa hari setelah Galunggung meletus.
Praktek jadi wartawan
Setelah lolos seleksi, saya mendengar dari manajemen PT Pikiran Rakyat, bahwa wartawan baru tidak akan ditempatkan di Bandung dan murni jadi wartawan HU Pikiran Rakyat. Kami akan disebar ke daerah, yakni ke Priangan Timur  untuk membantu SK Priangan, ke daerah Bogor untuk membantu SK Pakuan, dan wilayah Banten untuk membantu Kabar Banten. Â
Okelah tak masalah. Sebagai orang muda, saya sudah siap ditempatkan di mana saja, walau nantinya harus jauh dari anak dan istri.
Saat saya masuk ke HU Pikiran Rakyat, tiras PR masih bagus. Kalau tidak salah, sekitar 200-300 ribu eksemplar per hari. Pendapatan dari iklan pun, menggiurkan. Pemred PR saat itu, Kang Yoyo S Adiredja, berhasil membuat HU Pikiran Rakyat tetap disegani sepeninggal HM Ruslan. Saya kenal Kang Yoyo awalnya dari TVRI Jawa Barat, karena beliau sering jadi komentator  pertandingan Persib.
Setelah lolos seleksi, kami  mengikuti praktek lapangan selama beberapa hari dengan tugas liputan berbeda-beda setiap harinya. Pembimbing dan pengarahnya, kalau tidak salah, di antaranya Kang Enton Supriatna, wartawan politik dan pemerintahan yang namanya sudah terkenal saat itu. Ia terkenal, selain karena tulisanya tajam, juga banyak mewawancari pejabat publik di Jawa Barat. Enton saat itu bertugas di Gedung Sate.
Selain itu ada juga Teh Yepa (Yeni Farida), dan Kang Teguh Laksana.
Usai meliput, kami membuat berita, kemudian direview oleh Enton S dan kawan-kawan keesokan harinya. Begitu dan begitu setiap harinya.
Terus terang arahan dan bimbingan mereka, sedikit mempengaruhi tulisan/berita saya di kemudian hari. Seperti judul berita harus singkat, begitu juga kontennya. Padat, jelas, tidak bertele-tele.
Selama saya jadi wartawan HU Pikiran Rakyat, rasanya saya selalu mengusahakan judul singkat, sesuai arahan para senior. Pun tulisan, kecuali feature. Judul berita singkat dan mewakili isi berita, serta tulisan tidak bertele-tele, saya yakin bisa membantu pembaca cepat memahami konten berita.
Saya kira, pakem tersebut akan berlaku sampai kapanpun. Ternyata tidak. Belakangan, terutama setelah website berita bermunculan, pakem tadi tidak berlaku, kecuali di media nasional seperti Kompas, Tempo, Republika, dan HU Pikiran Rakyat. Judul, sekarang umumnya panjang-panjang, isi berita pun bertele-tele (barangkali agar bisa memunculkan adsense google yang banyak), hingga kadang membuat kepala pening.
Lucunya, Pikiran Rakyat online pun belakangan ikut-ikutan seperti yang lain. Prinsip dan pakem dari para senior PR, khususon Kang Atang Ruswita (almarhum), Kang Yoyo S Adiredja, Endi Sungkono, Wawan Djuwarna, Enton Supriyatna, dll, tidak digunakan lagi.
Apakah itu kemajuan, atau justru kemunduran? Entahlah. (Bersambung)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H