Mohon tunggu...
Aam Permana S
Aam Permana S Mohon Tunggu... Freelancer - ihtiar tetap eksis

Mengalir, semuanya mengalir saja; patanjala

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Yang Mulia Anggota Dewan, Kurang Apa Lagi?

30 Agustus 2018   07:42 Diperbarui: 30 Agustus 2018   13:07 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heran dan kesal. Begitulah perasaan penulis,ketika membaca, melihat dan mendengar berita soal anggota DPR RI. Keheranan dan kekesalan itu muncul, terutama bila ada anggota DPR yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau tentang kinerja DPR --yang menurut para peneliti, buruk.  Haruskah seperti itu?

Dalam pandangan penulis --dan mungkin juga jutaan warga lainnya di Tanah Air yang tinggal berjarak ratusan kilometer dari Jakarta-- gaji anggota Dewan Yang Terhormat dan Mulia itu lebih dari cukup.  Gaji mereka, menurut berbagai sumber minimal Rp 60 juta. Duit segede itu, konon, belum ditambah  sejumlah tunjangan lain seperti dana aspirasi dan dana reses yang jumlahnya lebih gede lagi.

Fantastis! Begitulah. Apalagi kalau apa yang pernah disampaikan Mahpud MD suatu ketika, benar dan bukan hoaks.  Betapa tidak, karena menurut Mahpud MD -- yang saat bicara sedang menyelamatkan diri dari "serangan" orang, pendapatan seorang anggota DPR  bisa mencapai Rp 20 Milyar setahun.  Itu, artinya,  seorang anggota Dewan itu, telah mendapat  tambahan berkali lipat dari gaji resminya yang "hanya" Rp 60 juta!

Masalahnya, mengapa Yang Mulia masih saja ada yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena ketahuan korupsi dan bermain-main dengan proyek?  Apakah  pendapatan Yang Mulia  yang sudah besar itu, masih  belum cukup?  

Ketika  terciduk KPK, ada beberapa yang mengelak tuduhan korupsi.  Kata mereka, itu hanya fee dan semacamnya. Tapi apapun alasannya, tindakan itu tetap tidak elok; kemaruk dan berlebihan sekali. Bisa juga, tindakan mereka tersebut sebagai ajimumpung. Mumpung memiliki kedudukan, mumpung bisa bermain-main dengan proyek, atau mumpung punya kesempatan, dan lain-lain.

Penulis tidak perlu mencatatkan nama-nama anggota Dewan yang berurusan dengan KPK tersebut. Hanya yang jelas, walaupun jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari, berita penangkapan anggota Dewan oleh KPK tadi, telah mencoreng  lembaga Dewan Yang Terhormat secara keseluruhan.  

Peribahasa karena nila setitik rusak susu sebelangga,  sepertinya tepat pada kasus ini.  Lebih dari itu, kasus tersebut, juga telah mengikis rasa percaya masyarakat khususnya penulis kepada Dewan.

Hal lain yang juga mengecewakan penulis, adalah kinerja Dewan yang belakangan ini terus menurun.  Mengutip hasil penelitian peneliti  senior Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia) Lucius Karus,  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 sekarang, merupakan DPR dengan catatan kinerja terburuk, bila dibandingkan dengan DPR periode 2009-2014 lalu. Ukurannya adalah  pencapaian DPRD di bidang legislasi.

Berdasarkan catatan Formappi yang disampaikan awal Pebruari 2018,  di tahun pertama menjabat,  DPR 2009-2014 berhasil menghasilkan 8 RUU, sementara DPR periode ini hanya 3. Di tahun kedua, DPR periode lalu berhasil menghasilkan 12 RUU, yang sekarang hanya 10 RUU. Lalu di tahun ketiga, DPR periode terdahulu berhasil mengesahkan 10 RUU, sedangkan DPR periode sekarang hanya 6 RUU.

"Dari data itu saja, nampak bahwa kemerosotan DPR periode 2014-2019 sangat jelas. Tak hanya jika dibandingkan dengan DPR periode terdahulu, tetapi juga jika membandingkan grafik capaian RUU tahunan mereka, yang tidak pernah berhasil lebih dari 10 RUU prioritas setiap tahunnya. Jadi, ini juga terkait kapasitas,"  ujarnya.

Di sisi lain, dalam urusan bicara kepada wartawan, anggota Dewan Yang Terhormat sepertinya paling jago. Apalagi kalau berbicara tentang OTT KPK terhadap rekan-rekannya.  Jika dimintai komentar tentang OTT, mereka dengan gagahnya mencoba mengerdilkan upaya KPK memberantas korupsi di Tanah Air, sesuai dengan fungsinya. Terlebih, kalau barang bukti OTT yang diperoleh KPK, tidak milyaran atau hanya  ratusan juta rupiah saja! "Cemen," begitu kata mereka.

Karena alasan itulah, penulis sebagai bagian dari jutaan warga Indonesia,  kurang menaruh hormat kepada Yang Mulia anggota Dewan, setidaknya kepada anggota Dewan periode 2014-2019 ini. Sementara untuk periode mendatang saya belum tahu. Namun kalau figur yang masuk ke senayan periode mendatang kebanyakan orang yang sama, boleh jadi perasaan saya akan tetap sama pula.

***

Penulis tidak tahu masukan apa yang perlu disampaikan untuk kebaikan Dewan yang  Terhormat. Penyebabnya, penulis tidak lebih pintar dari anggota Dewan. Penulis hanya orang desa. Kuliah S.1 juga tidak tamat karena ketika muda sibuk bekerja sebagai wartawan di sebuah harian di Jawa Barat.

Penulis yakin, anggota Dewan yang Terhormat sebenarnya paham benar dengan fungsi dan kewajibannya.  

Sebagai orang  yang umumnya berpendidikan tinggi dan beragama,  Dewan pasti tahu tindakan apa yang masuk katagori "benar" dan "salah" dalam hal  mencari uang "lebih" dari jabatannya.  Kecuali, ketika sudah duduk di kursi Dewan, mata batinnya tertutup dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah dalam bertindak,  sehingga memainkan anggaran, dan "main-mata" dengan yang punya proyek  misalnya, sudah dianggap hal biasa.

Penulis yakin,  Dewan Yang Terhormat  tahu bahwa tugasnya bukan hanya untuk "cuap-cuap"  tak karuan,  misalnya untuk menyindir KPK yang berhasil menangkap rekan sejawat yang diindikasikan korupsi, atau  silang paham dengan sesama anggota Dewan dengan pokok soal yang sebenarnya tidak menyentuh kepentingan rakyat.  

Kecuali  mereka tiba-tiba diserang penyakit lupa berat, imsomnia, sehingga lupa samasekali akan tugas dan kewajiban pokoknya, seperti  menuntaskan RUU atau melakukan pengawasan atau kontrol terhadap kinerja Pemerintah -- sekalipun yang jadi pucuk pemerintahan merupakan "gang" mereka.

Penulis juga yakin bahwa Dewan Yang terhormat tahu persis tentang indahnya hidup bersahaja dan sederhana dalam balutan iman.  Kecuali, napsu untuk ria dan sombongnya sudah demikian gagahnya menutup hasrat bersahaja dan sederhana, serta keimanannya.  Sehingga mereka tidak puas dengan pendapatannya selama ini yang sebenarnya sudah ada di atas rata-rata. Sehingga, sekalipun Dewan yang muslim nyaris setiap tahun melaksanakan ibadah haji dan umroh, tetapi hatinya tetap berdebu!

Yang penting sekarang barangkali: niat dan keinginan untuk bertindak benar!***

Sumber Rujukan: 1 2 3 4  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun