Mohon tunggu...
Satya Permadi
Satya Permadi Mohon Tunggu... Junior Researcher -

Seorang yang senang mengamati banyak hal, terkadang menuangkannya dalam tulisan, lebih sering dituangkan dalam bentuk fotografi. https://permadisatya.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konstelasi Politik di Era Digital

31 Oktober 2017   12:20 Diperbarui: 31 Oktober 2017   12:57 3018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik merupakan dunia yang kotor meski esensial dalam kehidupan bernegara. Hal itu dikarenakan para politisi yang berhasil bertahan dalam permainan politik adalah mereka yang tidak memakai integritas dan idealismenya. Karena biasanya, politisi yang memiliki integritas dan idealisme, akan tergilas, karirnya mati ditusuk dari belakang oleh kawannya, atau dipenjara karena fitnah yang dituduhkan kepadanya.

Konstelasi politik Indonesia saat ini, masih bisa kita simpulkan bahwa semuanya berujung pada uang. Kekuasaan hanya sekedar proksi dalam mendapatkan akses-akses bisnis di Indonesia. Tujuan pertarungan politik yang sesungguhnya tidak pernah menyentuh kepentingan masyarakat dan negara secara luas seperti apa yang dikoar-koarkan selama ini.

Para politisi tentunya membutuhkan amunisi dalam setiap pertarungan politik. Mereka membuat amunisi itu dari isu-isu yang menjamur di masyarakat luas, untuk selanjutnya digunakan dalam kampanye politik mereka. Tujuannya, agar masyarakat tahu bahwa para politisi tersebut sedang memperjuangkan mereka. Keberpihakan politisi terhadap opini masyarakat hanyalah sekedar untuk mendapatkan simpati semata, lalu mendapatkan dukungan suara yang berkelanjutan.

Dengan begitu pentingnya suara masyarakat, ketika politisi dihadapkan pada kebijakan yang tidak populer, namun sebetulnya itu adalah pilihan kebijakan yang terbaik berdasarkan kajian empiris, mereka cenderung untuk tidak melakukannya. Selama tidak menghalangi tujuan sebenarnya, para politisi itu akan selalu ikut akan suara mayoritas masyarakat, sekalipun itu adalah kebodohan.

Aturan main yang ada saat ini sudah menjadikan para politisi tersebut menghalalkan segala cara untuk memenangi pertarungan politik. Tidak memperdulikan bagaimana dampak buruk yang akan terjadi kemudian. Bahkan, mungkin mereka sebetulnya tahu mengenai dampaknya pada masyarakat, namun dengan sengaja membiarkannya.

Tidak perlu menutup mata, isu-isu sosial yang ada hanyalah sekedar komoditi saja bagi para politisi. Dan dari itu semua, sebejat-bejatnya politisi adalah mereka yang menggunakan isu yang berisi pemutarbalikan fakta dan sejarah. Kedua terbejat adalah mereka yang menggunakan isu agama dan ras.

Dengan semakin mudahnya akses internet bagi banyak masyarakat, penyebaran informasi menjadi lebih mudah dan lebih masif. Sehingga, pola yang terjadi, tidak lagi berasal dari sesuatu yang populer di kehidupan nyata, namun sebaliknya. Tanpa disadari, kita pun terbawa masuk ke dalam era digital. Era dimana sebuah isu di dunia maya bisa menjadi hal yang ramai dibicarakan oleh semua orang di kehidupan nyata.

Para politisi merespon fenomena tersebut dengan baik. Mereka menggunakannya untuk mengatur gejolak politik yang terjadi di masyarakat dengan memaksimalkan penggunaan teknologi. Menghebuskan isu-isu yang sensitif bagi masyarakat tidak lagi semahal sebelumnya. Propaganda-propaganda juga semakin saru dengan komentar-komentar yang nyeleneh ataupun satir.

Masyarakat disini seperti halnya domba-domba di padang rumput. Mereka butuh pengembala, dan pengembala butuh anjing untuk memudahkan tugasnya.

Para politisi memegang orang-orang berpengaruh di dunia maya, dan orang-orang itu dikomandoi untuk menggiring opini publik mengenai isu pesanan mereka. Ketika masyarakat mulai termakan isu tersebut, maka yang terjadi bisa berdampak luar biasa. Masyarakat akan mulai kehilangan arah dan berusaha mencari jawaban akan hal tersebut. Para politisi selanjutnya hanya tinggal menikmati hasilnya saja, menanggapi isu tersebut dengan mengambil posisi memihak apa yang dijawab mayoritas masyarakat.

Seperti pistol, baik buruknya era digital juga bergantung pada tangan siapa yang menggunakannya. Era digital membawa dampak buruk ketika yang menggunakannya adalah orang yang minim leterasi, biasa memakai kaca mata kuda dalam melihat suatu isu, dan ngotot bahwa pandangannya adalah yang paling benar. Mereka cenderung ajaib dalam menginterpretasikan pernyataan dan ujungnya malah menyulut berdebatan yang tidak penting.

Bagaimana tidak, misalnya saja ketika ada seseorang menyatakan "gue suka banget sama buah apel", lalu ada saja orang lain yang membalasnya dengan, " berarti lu gak suka mangga, dong?". 

Di keseharian kita, mungkin saja sering terjadi kesalahan interpretasi seperti ini. Namun, permasalahan tersebut biasanya selesai beberapa saat kemudian. Bayangkan jika hal tersebut terjadi di dunia maya, kesalahan itu menyebar cepat ke orang-orang yang tidak kita kenal, dan viral.

Banyak kejadian, suatu kebodohan yang viral, kadang setelah ditelusuri merupakan kebodohan yang menyebarkannya. Itu terjadi karena dia tidak mengkonfirmasi dan langsung menyebarkan pandangan dia sebagai fakta. Ya, fakta yang tidak lengkap. Dan akhirnya muncul kebodohan-kebodohan lainnya.

Kita bisa bayangkan apa dampaknya jika itu merupakan sebuah isu yang dimainkan elit politik.

Ketimpangan ekonomi, minimnya literasi, kebodohan masyarakat, bejatnya para politisi, ketidakpastian hukum, adalah permasalahan serius dalam memasuki era digital. Dampaknya akan sangat buruk pada tatanan sosial di negeri ini. Masyarakat akan sangat rentan terhadap isu dan mudah tersulut emosi sehingga mudah terjadi konflik. Konflik yang awalnya hanya terjadi di dunia maya, pada akhirnya terbawa ke kehidupan nyata.

Keluguan masyarakat dalam menghadapi era digital ini, ditambah permainan elit, tanpa masyarakat sadari, telah mengakibatkan masyarakat menjadi terkotak-kotak berdasarkan kesamaan identitas. Entah itu pribumi atau non-pribumi. Entah itu islam atau non-islam, entah itu ormas A atau ormas B, dan lain sebagainya. 

Ketika masyarakat sudah terkotak-kotak, konflik pun semakin mudah disulut oleh elit politik. Sudah seperti sengaja dirancang, dengan menjalankan strategi tersebut, maka akan lebih mudah memihak pada kelompok yang mana nantinya. Dan konflik itu sendiri juga membuat masyarakat lupa untuk mengawal jalannya pemerintah terpilih.

Susah jika kita mengharapkan perubahan dari para politisi. Yang memungkinkan, masing-masing dari kita lah yang merubahnya. Dengan memulai untuk lebih bijak lagi dalam menggunakan media sosial dengan selalu melihat dari berbagai sudut pandang mengenai suatu isu. Atau setidaknya, berhenti untuk ikut-ikutan berkomentar dan menyebarkan kembali suatu isu yang kiranya dapat memperkeruh suasana. Juga berusaha untuk melihat lebih dalam suatu isu, apakah itu hanya merupakan permainan para elit politik semata atau bukan.

Selain itu, bisa dengan mencari kesibukan lain dalam menghabiskan waktu luang, seperti perbanyak berolah raga, membaca buku, atau menjalankan hobinya masing-masing. Bukan berarti untuk bersikap apatis terhadap pemerintahan, namun agar kita tidak mudah dipermainkan isu-isu yang dimainkan elit politik.

Arsip: permadisatya.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun