Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pensil Alis

5 Desember 2024   13:30 Diperbarui: 5 Desember 2024   13:34 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pensil Alis

Cerpen Yudha Adi Putra

 Setelah mengusap alis, dadaku terasa sesak. Berkali-kali mendengar ungkapan menyakitkan. Mulut lelaki yang begitu manis itu, ternyata bisa berubah jadi tajam. Tak pernah dia selingkuh atau menjadikanku samsak tinju. Itu yang aku syukuri. 

Ketika mendengar cerita dari teman yang menjadi kekesalan pendamping hidupnya. Aku selalu berhasil menemukan hal baik darinya, entah puisi atau bunga yang ada di meja. Dia nakal. Dia kadang tak mau makan masakanku, padahal aku sudah menyediakan waktu untuk memasak.

 Hampir satu dekade aku bersamanya, Tuhan memberi kami gadis kecil. Gadis yang selalu dipuji olehnya. Kesukaan gadis itu sama persis dengannya. Menulis dan merangkai bunga. Hanya satu hal yang sama denganku, tidak suka dengan alis. 

Kutinggalkan dia begitu saja ketika pagi, sarapan sudah tersedia, kini aku bisa bekerja. Aku tak mau luluh oleh puisinya di pagi hari. Sudah cukup besar untuk lepas dari ibu, dari diriku. Belum lagi, kebiasaannya tidur larut malam, mirip dengan bapaknya. Kekesalanku setiap pagi, membangunkan suami dan anak perempuanku.

 Tak sampai dua hari, aku mendapatkan telpon dari sekolah, seorang guru.

 "Ibu, ini Dara mau ikut lomba membaca puisi!" Sementara terdengar kegaduhan kelas di siang hari. Aku tak pernah mempermasalahkan hal itu. Telpon aku matikan, bahkan sebelum memberikan jawaban. Puisi ? Kenapa gadis kecilku juga suka puisi. Aku terbawa pada beberapa tahun silam, kala aku membaca dan mendapat puisi pertama darinya. Anak nakal yang kini menjadi suamiku. 

Dulu, pernah suatu malam aku isi dengan tangisan dan dada sesak. Mungkin juga beberapa hari terakhir. Tak ada darah, tak ada luka. Hanya perasaan lemas dan sesak. Aku sendiri sulit menjelaskan.

 Terdiam di meja kerjaku, memperhatikan beberapa teman. Tak yakin dengan keadaan, aku mengambil minum. 

 "Rasain sekarang ! Itu akibatnya mau-maunya sama penulis. Mau banget dibikinin puisi sama dikasih bunga. Nyesel sekarang ? Belum penampilannya yang tidak tahu malu itu," umpat beberapa kawan ketika aku bercerita. Tak ada tempat untuk bercerita tanpa dihakimi. Aku seperti meraba pondasi sendiri.

 Kadang aku merasa aneh dan kasihan, tapi jahat sekali mereka menilai tanpa melihat sisi aku memandang dirinya. Aku ini seorang perempuan, kini juga seorang Ibu, tapi kenapa aku juga melahirkan sosok yang sama dengan suamiku. 

Hanya saja dia perempuan. Kekerasannya lewat kata-kata. Aku tak bisa menghentikan. Tidak layak dia mendapatkan penolakan seperti yang kamu lakukan pada suami, karena dia suka puisi, karena dia tidak menurut ? Beragam pertanyaan terus bermunculan dalam heningku.

 Suara ketikan terdengar, kicau burung menyambut, anak perempuanku sebentar lagi pulang sekolah. Aku melihat ponsel, suamiku sudah berkirim pesan.

 "Aku sudah bangun, siap menjemput Dara. Kenapa pensil alismu masih utuh?"

 Pertanyaan tentang pensil alis. Itu menyebalkan. Membawa pada kenangan tepat di mana ibuku marah karena aku menggambar alisku, begitu cantik menurutku. Kini, semua menjadi ketakutan, kejam setelah hal baik datang juga tak bisa hilang. Apa yang berbicara dari pensil alis itu ? Apa yang bisa diperbuat dari perempuan yang membenci alis sepertiku ini. 

Dia selalu bilang. Alis bisa menjelaskan kepribadian seseorang. Aku tidak percaya. Ibuku dulu selalu melarang aku memakai alat kosmetik berlebihan. Kulirik angka di ponsel. Sebentar lagi ada presentasi. Tampil cantik jadi semacam kebutuhan. Ini bagian yang paling aku benci.

 "Bu, jangan cerita ke yang lain ya. Aku mau pinjam pensil alisnya," ujar seorang pegawai muda menuju mejaku.

 Masih dalam keadaan gemetar, aku menyerahkan pensil alis. Kuucapkan kata yang hanya dalam batinku. Aku berusaha menutupinya dengan senyuman.

 "Betapa beruntungnya, kamu bisa memakai pensil alis itu. Aku selalu seperti penjahat yang ketakutan ketika melihat pensil alis. Itu harus aku hilangkan. Ketika melihat pensil alis, aku takut melihat kemarahan besar. Kemarahan yang membuat aku memiliki beberapa luka lebam di pundakku, bahkan suamiku saja tidak tahu," ungkapku dalam hati.

 Tepat ketika aku berkeluarga, aku tak mau menyentuh pensil alis. Begitu juga aku didik anakku, bahkan tanpa memberikan penjelasan dan pengertian. Begitu aku benci pensil alis. Kalau aku jelaskan, hanya kekangan dan kesesakan yang teringat.

 "Bu, boleh tidak aku pinjam ?" Ungkapan itu menyadarkanku dari lamunanku.

 Hanya senyuman yang aku sajikan. Sebelum, mataku berkaca-kaca dan pipiku basah. aku 

***

"Kamu ini ! Dasar anak perempuan tidak tahu diri. Kenapa penampilanmu seperti itu ? Belajar menghargai dirimu sendiri"

Suara itu terdengar dari ruang tamu. Suara sebelum kami pergi ke gereja. Aku memang lama kalau makan. Belum lagi bajuku itu-itu saja. Hitam dan celana robek-robek yang menurutku nyaman. Beberapa baju dilempar ibu ke wajahku hingga aku diminta untuk ganti. Satu baju itu tepat mengenai alisku. Berharap aku memperbaiki lukisan alis dengan pensil alis yang aku buat.

Aku sudah lupa, bahkan tidak tahu apa yang membuat ibu begitu membenci pensil alis dan alis buatan. Ibu begitu marah dengan alis. Seolah alis digambar dengan pensil alis itu berlebihan. Tidak nyaman dilihat. Membuat menjadi pribadi lain. Itu semua hanya terkaanku. Aku tidak tahu betul. Mungkin ayah tidak suka ibu memakai kosmetik berlebihan. Kata-kata ayah dalam memuji ibu juga baik. 

Sayang, aku tidak mendapatkan pasangan seperti ayah. Pasangan yang bermain dengan kata dan bunga. Hanya ketakutan tentang pensil alis yang terulang. Bukan pada Ibu. Bukan pada kata-kata puitis ayahku. Tapi ketakutan itu ada padaku. Aku sering memaki putriku. Membuatnya tidak nyaman, kata-kataku begitu menyakitkan. Tak pernah pukulan mendarat di wajahnya, sekalipun tidak. Tapi aku seperti berhasil membuat remuk hatinya. Hati putri kecilku satu-satunya.

 Ketika melihat cermin, beberapa kali tatap, sekilas aku melihat ibuku dan ayahku. Sosok yang aku benci, tapi tidak mampu aku lawan. Kinilah aku sosok yang paling aku benci dulu. Ibu yang membenciku berias sedemikian rupa. 

Ayah yang kata-katanya manis, tapi menyakitkan kalau marah. Tak ada kerasan fisik, ternyata kekerasan verbal menjadi lebih menyakitkan hari demi hari. Kesakitan hati itu tidak mudah untuk pulih. Kesakitan karena kata-kata lebih kejam. Bekasnya tak ada, tapi sakitnya terasa. Dia gabungan dari ibuku dan ayahku. Sosok yang terluka, tapi tak mampu sembuh sebelum akhirnya mereka bersama. Seperti membuat belenggu baru.

Kini, puluhan tahun berlalu, aku menjadi terluka. Hatiku berteriak, aku tak mau seperti ibu atau ayahku. Tak ada kata manis, tak ada penampilan indah. Aku bukan mereka. Tak ada yang membebaskan mereka. Maka aku yang terluka, menjadi kumpulan yang ingin aku bebaskan.

Bertahun aku mencoba, memilih jalan berbeda, menikah untuk bebas, dan keluar dari cara hidup seperti mereka. Tetap saja, aku gagal. Hanya dengan ingat betapa dulu nenek dilarang memakai pensil alis.

       Praon, 05 Desember 2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun