Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pensil Alis

5 Desember 2024   13:30 Diperbarui: 5 Desember 2024   13:34 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Hanya senyuman yang aku sajikan. Sebelum, mataku berkaca-kaca dan pipiku basah. aku 

***

"Kamu ini ! Dasar anak perempuan tidak tahu diri. Kenapa penampilanmu seperti itu ? Belajar menghargai dirimu sendiri"

Suara itu terdengar dari ruang tamu. Suara sebelum kami pergi ke gereja. Aku memang lama kalau makan. Belum lagi bajuku itu-itu saja. Hitam dan celana robek-robek yang menurutku nyaman. Beberapa baju dilempar ibu ke wajahku hingga aku diminta untuk ganti. Satu baju itu tepat mengenai alisku. Berharap aku memperbaiki lukisan alis dengan pensil alis yang aku buat.

Aku sudah lupa, bahkan tidak tahu apa yang membuat ibu begitu membenci pensil alis dan alis buatan. Ibu begitu marah dengan alis. Seolah alis digambar dengan pensil alis itu berlebihan. Tidak nyaman dilihat. Membuat menjadi pribadi lain. Itu semua hanya terkaanku. Aku tidak tahu betul. Mungkin ayah tidak suka ibu memakai kosmetik berlebihan. Kata-kata ayah dalam memuji ibu juga baik. 

Sayang, aku tidak mendapatkan pasangan seperti ayah. Pasangan yang bermain dengan kata dan bunga. Hanya ketakutan tentang pensil alis yang terulang. Bukan pada Ibu. Bukan pada kata-kata puitis ayahku. Tapi ketakutan itu ada padaku. Aku sering memaki putriku. Membuatnya tidak nyaman, kata-kataku begitu menyakitkan. Tak pernah pukulan mendarat di wajahnya, sekalipun tidak. Tapi aku seperti berhasil membuat remuk hatinya. Hati putri kecilku satu-satunya.

 Ketika melihat cermin, beberapa kali tatap, sekilas aku melihat ibuku dan ayahku. Sosok yang aku benci, tapi tidak mampu aku lawan. Kinilah aku sosok yang paling aku benci dulu. Ibu yang membenciku berias sedemikian rupa. 

Ayah yang kata-katanya manis, tapi menyakitkan kalau marah. Tak ada kerasan fisik, ternyata kekerasan verbal menjadi lebih menyakitkan hari demi hari. Kesakitan hati itu tidak mudah untuk pulih. Kesakitan karena kata-kata lebih kejam. Bekasnya tak ada, tapi sakitnya terasa. Dia gabungan dari ibuku dan ayahku. Sosok yang terluka, tapi tak mampu sembuh sebelum akhirnya mereka bersama. Seperti membuat belenggu baru.

Kini, puluhan tahun berlalu, aku menjadi terluka. Hatiku berteriak, aku tak mau seperti ibu atau ayahku. Tak ada kata manis, tak ada penampilan indah. Aku bukan mereka. Tak ada yang membebaskan mereka. Maka aku yang terluka, menjadi kumpulan yang ingin aku bebaskan.

Bertahun aku mencoba, memilih jalan berbeda, menikah untuk bebas, dan keluar dari cara hidup seperti mereka. Tetap saja, aku gagal. Hanya dengan ingat betapa dulu nenek dilarang memakai pensil alis.

       Praon, 05 Desember 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun