Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tepi Bendungan Tirtonadi

23 Agustus 2024   21:00 Diperbarui: 23 Agustus 2024   21:01 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tepi Bendungan Tirtonadi


Yudha Adi Putra


Angin menyapa banyak pasangan kekasih. Hal manis mulai terucapkan menghadap ke bendungan. Hal yang membuat lupa diri. Janji setia sampai mati. Nanti tak akan menyakiti. Impian tentang rumah. Nama anak pertama. Mulai dari yang pulang kerja. Ada juga masih balutan seragam putih abu-abu. Cinta bisa menyapa siapa saja. Bukan, bukan menyapa. Hanya lewat saja. Setelahnya tangisan perpisahan.
Tempat ini hanya tepi bendungan !


"Tempat ini kotor. Mari kita ambil sampahnya. Satu persatu. Sehari satu. Dalam senyum untuk semua !" teriak Bayu.


Ajakan sederhana itu. Jadi rutin dan menjatuhkan. Tepatnya dijatuhkan pada hati Siska. Hati yang tak baik kalau disebut sepi. Hanya tak ada kata yang memaknai. Waktu berganti menenun peristiwa. Belajar di Slemat tak cukup. Bekerja adalah langkah selanjutnya. Sebab belajar dan bekerja adalah meramu cinta. Tak ada yang istimewa.


Siska datang ke kota ini, Solo. Telah dicoba segala cara. Semua sia-sia. Hatinya tetap jatuh pada kemacetan. Pada air yang sulit jernih. Kegelisahan selalu menyapa tiap pohon ditebang. Menumpuk dan bau seperti sampah. Itu menjadi tempat paling baik untuk mengenang. Namun apa yang dikenang tak tahu diri. Seperti kekasih pada umumnya. Putus menjadi pilihan. Kalau tidak sama prinsip, mungkin tahu akan sulit. Celakanya, tidak mudah menghapus kenangan. Itu jadi ingat, lebih mudah dari mengingat pengkhiatan tukang sayur. Saat di nanti ibu-ibu di kompleks. Penuh cerita dan penantian.


Siska kembali ke tempat pertama jumpa. Membawa kenangan dan membukanya. Sepasang mata menatap Siska. Membuat hatinya mendebar, masih dengan pakaian yang sama. Puluhan hari sudah berlangsung. Masih sama. Rokok di tangan kirinya. Jari telunjuk tangan kanan dipegang oleh tangan lain. Lebih mungil dan bersih. Gadis baru bersama Bayu, mantan kekasihnya.
"Kenapa lagi? Bisa berjumpa di sini rupanya !"


Pertanyaan itu seperti hentakan. Sampah plastik menjadi latar. Tetap dengan angin sore mulai dingin. Bersama banyak pasang kekasih lain. Tempat untuk pacaran. Memesan kopi dan roti. Tidak ramah lingkungan. Sebab sampah dan tikar dibuang begitu saja. Semacam bualan cinta. Hanya pada penduduk yang jujur. Jujur akan derita hidup. Penduduk asyik pulang dari mencari ikan. Satu dapat banyak. Satu yang lain hanya membawa putung rokok. Hidup selalu menjadi dadu misteri. Suka tidak suka, harus dijalani.


"Aku suka tempat ini. Di mana memangnya ?"


"Apanya yang di mana ?"


Pertanyaan Siska membawa keheningan. Hening dalam benak Bayu. Tangan mungil yang tadi erat. Perlahan dan pasti mendarat. Tepat di pipi Bayu.  Sebuah tamparan dan air mata berlinang. Menyisakan tatap pada sampah di bendungan. Sampah yang enggan pergi. Dari sampah itu muncul teriakan. Minta dipedulikan. Hanya saja, itu samar. Tidak semua menatap sampah. Sesekali hanya menambah. Sampah hati yang tak kunjung bersih.


"Semua bisa dijelaskan. Tak seperti yang terlihat !" jelas Bayu.


***


Siska punya prinsip sama keras. Perjalanan menjadi indah. Ketika prinsip itu dihidupi. Indah untuk luka dan deritanya. Prinsip bahwa cinta adalah perjalanan. Bukan titik henti. Tahun itu yang membuat dekat. Secara perlahan, Bayu dengan keliaran. Membawa pelajaran, bersama tak haru sama. Tetap melangkah untuk lulus. Tujuan untuk hidup dengan mulus. Menikmati puisi di akhir pekan. Mungkin saja orangtuanya tidak setuju. Bergumul dengan hal buruk. Menemani langkah dengan senang. Itu bisa menjadi penenang. Hanya saja, plastik tetap berdatangan. Dari rumah ke rumah. Setelah mereka lewati dengan duduk berjarak di motor.


Bayu dan Siska bertatapan.  Mata dengan mata. Tak ada air mata. Hanya kekerungan air bendungan. Tak ada tatap yang dalam seperti itu. Keyakinan usai. Tidak memerlukan penjelasan. Kata hilang makna. Sampah tetap bertebaran di mana-mana. Beranjak pergi mereka. Memilih jalan masing-masing. Tatap itu hanya penanda. Semua menjadi takdir yang sudah disetujui. Putus. Berpisah karena kekerasan. Tamparan kata dan realita. Sampah hati yang muncul kembali. Gambaran ingat akan masa lalu.


Siska menatap bendungan, tajam dan kejam. Tempat pertemuan dengan Bayu. Penuh dengan keliaran fantasi. Lemparan batu pertama. Itu jadi semacam janji. Pukulan untuk terus melangkah. Bersama dalam setiap pertanyaan akan masa depan.


"Bagaimana mimpi menjadi penulis setelah ini ?"


Tidak ada yang peduli. Hanya di tepi bendungan. Sampah berserakan. Bukan diambil. Sampah itu dijadikan inspirasi. Untuk menulis. Menopang setiap pertanyaan. Hanya saja, kata bersama akan tetap menjadi kata pisah. Tanpa tindakan terdengar dari kejauhan. Sayup dan pasti, setelah Bayu pergi. Siska menjelma dalam sampah. Berada di tepian pilihan hidup. Tak diharapkan. Sama seperti kenangan.


***


Demi tetap berdamai. Siska memilih tetap di bendungan Tirtonadi ketika sore. Memesan minuman, lalu melamun. Dalam lamunan, apa saja bisa muncul. Kepul rokok dan tawa lelaki dibiarkannya. Hanya pada pohon Siska berharap. Bayu bisa kembali, untuk dipukuli. Sebagaimana dulu dia dipukuli. Dicekik, seperti tiap janji yang hanya janji. Pada pohon, Siska membawa angannya. Andai pohon itu banyak. Teduh terasa di tepi bendungan. Hanya saja, dalam tanaman pohon yang lain. Apakah menanam itu sama dengan memberikan kesempatan kedua ? Pohon perlu disiram. Itu perlu air. Di mana air ketika kota penuh dengan deru kendaraan ? Apakah di antara pohon itu, Bayu tersenyum. Merasa menang atas permain yang dibuat Siska. Untuk tidak bergantung pada kata. Untuk terus melangkah dan alih-alih mengutuki kota, Siska menjelajahinya. Tetap menjadi tepi bendungan, tepi kenangan, dan tepi harapan untuk hidup. Menata kembali simpul kacau, untuk peduli.
Praon, 23 Agustus 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun