Tepi Bendungan Tirtonadi
Yudha Adi Putra
Angin menyapa banyak pasangan kekasih. Hal manis mulai terucapkan menghadap ke bendungan. Hal yang membuat lupa diri. Janji setia sampai mati. Nanti tak akan menyakiti. Impian tentang rumah. Nama anak pertama. Mulai dari yang pulang kerja. Ada juga masih balutan seragam putih abu-abu. Cinta bisa menyapa siapa saja. Bukan, bukan menyapa. Hanya lewat saja. Setelahnya tangisan perpisahan.
Tempat ini hanya tepi bendungan !
"Tempat ini kotor. Mari kita ambil sampahnya. Satu persatu. Sehari satu. Dalam senyum untuk semua !" teriak Bayu.
Ajakan sederhana itu. Jadi rutin dan menjatuhkan. Tepatnya dijatuhkan pada hati Siska. Hati yang tak baik kalau disebut sepi. Hanya tak ada kata yang memaknai. Waktu berganti menenun peristiwa. Belajar di Slemat tak cukup. Bekerja adalah langkah selanjutnya. Sebab belajar dan bekerja adalah meramu cinta. Tak ada yang istimewa.
Siska datang ke kota ini, Solo. Telah dicoba segala cara. Semua sia-sia. Hatinya tetap jatuh pada kemacetan. Pada air yang sulit jernih. Kegelisahan selalu menyapa tiap pohon ditebang. Menumpuk dan bau seperti sampah. Itu menjadi tempat paling baik untuk mengenang. Namun apa yang dikenang tak tahu diri. Seperti kekasih pada umumnya. Putus menjadi pilihan. Kalau tidak sama prinsip, mungkin tahu akan sulit. Celakanya, tidak mudah menghapus kenangan. Itu jadi ingat, lebih mudah dari mengingat pengkhiatan tukang sayur. Saat di nanti ibu-ibu di kompleks. Penuh cerita dan penantian.
Siska kembali ke tempat pertama jumpa. Membawa kenangan dan membukanya. Sepasang mata menatap Siska. Membuat hatinya mendebar, masih dengan pakaian yang sama. Puluhan hari sudah berlangsung. Masih sama. Rokok di tangan kirinya. Jari telunjuk tangan kanan dipegang oleh tangan lain. Lebih mungil dan bersih. Gadis baru bersama Bayu, mantan kekasihnya.
"Kenapa lagi? Bisa berjumpa di sini rupanya !"
Pertanyaan itu seperti hentakan. Sampah plastik menjadi latar. Tetap dengan angin sore mulai dingin. Bersama banyak pasang kekasih lain. Tempat untuk pacaran. Memesan kopi dan roti. Tidak ramah lingkungan. Sebab sampah dan tikar dibuang begitu saja. Semacam bualan cinta. Hanya pada penduduk yang jujur. Jujur akan derita hidup. Penduduk asyik pulang dari mencari ikan. Satu dapat banyak. Satu yang lain hanya membawa putung rokok. Hidup selalu menjadi dadu misteri. Suka tidak suka, harus dijalani.
"Aku suka tempat ini. Di mana memangnya ?"
"Apanya yang di mana ?"
Pertanyaan Siska membawa keheningan. Hening dalam benak Bayu. Tangan mungil yang tadi erat. Perlahan dan pasti mendarat. Tepat di pipi Bayu. Â Sebuah tamparan dan air mata berlinang. Menyisakan tatap pada sampah di bendungan. Sampah yang enggan pergi. Dari sampah itu muncul teriakan. Minta dipedulikan. Hanya saja, itu samar. Tidak semua menatap sampah. Sesekali hanya menambah. Sampah hati yang tak kunjung bersih.