Subsidi Sekolah
Cerpen Yudha Adi Putra
        Sudah lama, Jarwo mengharapkan kedua anaknya bisa sekolah dengan layak. Jarwo berusaha bekerja dengan giat. Itu semua demi keluarganya. Kebutuhan hidup terus saja meningkat. Muai dari listrik, makan, sampai kedatangan peminta-minta ke rumah kontrakan. Menjengkelkan Jarwo, ketika peminta-minta datang ke rumahnya, sedangkan Jarwo sendiri juga belum makan. Mereka sama-sama belum makan, tapi Jarwo paling anti dengan meminta.
        Dengan baju kumal yang sobek-sobek dan membawa kaleng, peminta-minta menunjukkan raut muka mengiba.
        "Bagi rezekinya, Pak. Saya belum makan sejak kemarin. Tadi malam tidur di pasar malah diusir juga, Pak!" kata pengemis itu dengan tubuh yang sebenarnya masih bugar.
        "Mari, silakan makan bersama kami. Kebetulan, pagi ini istriku memasak singkong rebus. Kita bisa makan bersama. Bukankah itu menyenangkan?" tawaran Jarwo hanya membuat pengemis tadi keheranan. Ada wajah sungkan, tapi diberanikan dirinya untuk mengungkapkan sesuatu.
        "Kalau boleh, saya minta mentahannya saja, Pak. Saya mau melanjutkan perjalanan," ujar pengemis tadi.
        Jarwo menahan amarah. Dia kini tahu betul, berapa banyak kesempatan yang diperoleh oleh pengemis. Pengemis itu tidak minta-minta untuk makan saja. Tapi, dia bisa membeli apa saja yang diinginkannya.
        "Apa? Pasti setelah ini, kamu akan pergi ke tempat lain dengan cara yang sama. Mungkin, dengan cerita yang dilebih-lebihkan. Kalau memang belum makan, mari makan bersama kami. Tapi, kalau minta uang, tidak akan kami beri. Berapa banyak orang yang akan kamu tipu hari ini? Meminta dengan wajah melas seperti itu!" bentak Jarwo.
        "Memang pekerjaan saya sebagai pengemis. Kalau bekerja dengan cara lain, itu mungkin orang lain. Tapi saya bekerja dengan mengemis, itu saja saya bisa menyekolahkan kedua anak saya sampai kuliah. Hanya dengan mengemis saja, mari bergabung dengan saya?" tawaran pengemis tadi justru membuat Jarwo jengkel.
        Hari demi hari, Jarwo menjadi kuli bangunan. Bayaran dari menjadi kuli hanya cukup untuk makan, itu kalau belum habis untuk membeli obat sakit pinggang. Anaknya ingin segera kuliah, tapi kesulitan biaya. Baru kali ini, Jarwo mendengar pengemis bisa menguliahkan anaknya dari hasil mengemis.
        "Kau sudah gila ya? Bagaimana mungkin aku memberi uang untuk sekolah anak-anak dengan hasil dari mengemis?" bentak Jarwo.
        Pengemis tadi lalu pergi. Hanya meninggalkan senyuman hinaan bagi Jarwo. Seolah, rasa laparnya hilang dan perjalanan menjadi pengemis terus dilanjutkan.
***
Cuaca begitu terik siang ini, Jarwo merasakan omongan pengemis tadi ada benarnya. Gajinya sebagai kuli bangunan tidak ada bandingannya dengan mengemis. Meski hanya meminta-minta, tapi jika sedikit demi sedikit, lama-lama tetap akan menjadi banyak.
"Har, tadi aku kepikiran sesuatu tentang pengemis. Mereka ternyata hidupnya luar biasa hebat," ujar Jarwo pada Haryanto, kawannya mengaduk semen sebelum akhirnya digunakan untuk menembok rumah.
"Memang kasihan mereka itu. Kita perlu bersyukur, meski harus mandi keringat demi bisa makan. Paling tidak, hidup kita lebih layak dari mereka," ujar Haryanto.
"Apa? Bicara apa kamu ini. Bayangkan saja ketika menjadi pengemis, di lampu merah berhenti satu menit ada orang memberi dua ribu. Selama satu jam, sudah ada enam puluh ribu. Selama delapan jam, sudah ada empat ratus delapan puluh ribu. Itu dalam sehari? Belum lagi pemberian dari sana sini," jelas Jarwo.
"Benar juga. Berarti, pengemis itu lebih kaya dari kuli bangunan ya. Tapi, sayang sekali mereka dari meminta-minta. Tidak ada kepuasaan tersendiri karena sudah berjuang. Untuk apa setiap talenta yang mereka miliki," ujar Haryanto.
"Untuk mengemis. Tidak semua orang bisa mengemis dengan baik dan benar. Kesabaran sebagai pengemis itu perlu diuji dalam berbagai kondisi," jelas Jarwo.
Haryanto kebingungan, entah apa yang membuat sahabatnya menjadi membahas tentang pengemis. Bukankah menjadi kuli bangunan lebih terhormat dari menjadi pengemis. Belum lagi, setiap kuli bangunan memiliki kesepatan untuk memakai seluruh hidupnya untuk berkarya.
"Tidak ada pekerjaan semulai kuli bangunan, Jar !" ujar Haryanto.
"Tapi, anak-anak kita perlu sekolah. Itu tidak murah, sedangkan gaji untuk kita saja sudah cukup untuk makan saja. Kalau mau makan enak, itu perlu berutang," jelas Jarwo dengan perasaan kesal.
Percakapan itu didengar bos mereka. Lalu, Jarwo dipanggil untuk menghadap. Sudah malam dan Jarwo belum bisa pulang.
"Ini untuk sekolah anakmu, semacam subsidi supaya semangat belajar," ujar bosnya Jarwo.
Godean, 28 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H