Utang Pagi
Cerpen Yudha Adi Putra
Pagi tiba, Kartono belum bangun. Hanya sayup dia mendengar percakapan tamu. Memang, semalam Kartono asyik dengan cerita Gadjah Mada. Tanpa jeda, Kartono membaca novel yang dipinjamnya. Menceritakan potongan kisah demi kisah. Lalu, akhirnya terlelap.
"Mas Kartono tidur di sini ya?" suara itu mulai terdengar Kartono. Selimut masih menutupi tubuhnya. Angin pagi terasa segar.
"Iya, sejak kamarnya dibenahi. Kartono tidur di luar," perkataan itu menjawab pertanyaan tetangga.
Kemudian, percakapan tentang menyumbang dibahas. Mereka seperti kebingungan, apa yang mau disumbangkan ketika uang kurang. Kebutuhan hidup kian mendesak, belum untuk membayar utang, malah ada orang mau menyumbang.
"Uang memang berputar, tapi itu tidak berjalan dengan baik bisa membahayakan. Semoga saja, uang dan kegiatan itu berjalan dengan baik. Tidak ada yang tertukar," kata perempuan bernama Haryati itu.
Keheningan pagi terasa membosankan, Kartono mulai terbangun. Mendapati banyak informasi terlewatkan. Andai saja, kemarin bisa mengirimkan informasi lebih cepat. Pasti, ketika pagi tidak ada informasi berlebihan mendatanginya.
"Semalam, aku keasyikan membaca. Melupakan tugas mengirimkan sebuah cerita. Bisa jadi, cerita lamaku terkirim kembali. Kalau mereka tidak memuatnya, berarti kesempatan demi kesempatan untuk tetap memberi ruang makna," ujar Kartono.
Bangun dan mencuci muka. Itu kegiatan awal Kartono. Memulai hari dengan doa baik. Banyak keinginan Kartono untuk memulai hari. Tapi, tetap pada permasalahan pemuda pada umumnya. Uang tidak ada. Pekerjaan belum punya. Semua menjadi serba terbatas. Kalau bisa mendapatkan pengalaman gratisan, Kartono siap untuk berjuang.
Hanya dengan mendapatkan kesempatan bekerja, paling tidak ada tenaga yang digerakan oleh Kartono. Kalau tidak bergerak, bisa saja pikiran negatif yang muncul. Itu justru membahayakan.