Peluit Anwar
Cerpen Yudha Adi Putra
Sore baru saja datang. Membawa perasaan teduh setelah menyibak kemacetan di Godean. Meski harus berupaya memutar, Anwar berhasil tepat waktu sampai rumah. Bertemu dengan dua burung kesayangannya.
"Jalan itu tidak bisa dilalui kendaraan lebih banyak lagi. Tiap berangkat kerja dan pulang, selalu saja penuh dengan kendaraan. Di tiap lampu merah, ada polisi yang berjaga. Entah, untuk kepentingan bersama. Tapi, tetap saja kemacetan atau tidak itu bergantung pada pengendaranya. Mau tertib atau tidak. Banyak atau sedikit,"
Itulah tulisan pesan Anwar pada tetangganya. Sisa rasa kesal masih tersimpan. Hanya dengan bertemu burung, Anwar bisa merasakan kelegaan.
"Sabar. Namanya juga berjuang. Tiap orang punya perjuangan masing-masing. Kalau dirimu lelah, berarti perjuanganmu penuh tenaga," balas tetangganya Anwar bernama Hasan.
Semilir angin sore seolah menyapa, pesan sederhana itu mengubah pandangan Anwar. Suasana pedesaan akan berbeda dengan di kota. Begitu melihat nama desanya saja, Anwar merasa damai.
"Orang miskin di sekitar kita akan selalu ada," ujar Anwar.
"Tidak apa. Selagi mereka mau berjuang, kita akan membantu sebisa mungkin," ujar Handoko yang duduk di angkringan. Menyambut kedatangan Anwar yang selesai mengecek burung dan berjuang dengan kemacetan.
Musim hujan sudah hampir selesai. Hanya ketika sore, ada hujan rintik-rintik. Sehingga, tepat jam pulang kantor, jika beruntung akan menjumpai tanah basah dengan bau hujan.
"Petani yang membaca pacul mulai menampakan diri. Mereka melangkah menuju angkringan yang sama," ujar Handoko.
"Kenapa mereka tidak mengeluh ya? Bukankah panas, seharian berada di sawah. Lalu, belum tentu mereka bisa merasakan panen. Kalau hujan, pasti basah dan keributan sering terjadi menjelang musim tanam. Berebut air," ujar Anwar.
"Mungkin karena mereka bersyukur. Tidak mengeluh dan menerima keadaan," kata penjual angkringan yang sudah selesai membuatkan teh hangat.
Minum teh di angkringan menjadi menyenangkan. Seperminuman teh bisa menggantikan rasa lelah seharian bekerja.
"Aku tidak masalah, kalau harus bangun pagi dan bekerja di sawah. Itu menjadi kesempatan untuk berbagi. Kalau petani tidak lagi mau bertani, menteri pertanian juga tidak akan disebut berprestasi bukan?"
Pertanyaan petani tua itu membuat Anwar tersadar. Tidak semua pekerjaan diukur dengan prestasi dan uang. Tidak bisa dimengerti memang, kepentingan mana yang dibela dalam pekerjaan.
***
Dua orang pemuda diminta datang ke pinggir jalan. Jalan di mana ada Anwar sedang bekerja. Memakai peluitnya, Anwar mengatur lalu lintas. Sesekali, Anwar melempar senyuman pada pengendara yang lewat.
"Arah mana ini, Mbak?" tanya Anwar.
Pemuda tadi menunjuk arah Godean. Arah di mana Anwar juga ingin pergi. Kalau bisa, Anwar ingin sekali segera pulang. Tentu dengan menikmati teh hangat di angkringan dekat desanya.
"Anwar, hari ini giliranmu jaga sampai malam ya. Aku mau persiapan pulang terlebih dahulu," ujar pemimpin Anwar. Tanpa memperhatikan apa yang menjadi jawaban Anwar, lelaki separuh baya tadi pergi begitu saja.
Kini, Anwar menatap jalan dan memperhatikan beberapa orang pulang. Sore datang kembali dengan cepat. Setelah dirasa jalanan kian ramai, Anwar memilih hanya berdiri di tepi jalan.
"Ayo, Pak. Tiup kembali peluitmu. Sekarang waktumu untuk bekerja!" ujar seorang pemuda yang kesal karena jalanan macet.
Kawan Anwar yang membantu. Anwar diam saja. Seolah, tak peduli dengan keramaian di sekitarnya.
"Anwar. Ayo tiup peluitmu. Mereka membutuhkan kita!" teriak salah seorang kawan Anwar.
Kerja dari siang sampai sore membuat Anwar lelah. Ia merencanakan istirahat sebentar, tapi teriakan dan permintaan tolong terus berdatangan.
"Aku kelelahan menjalani semua ini!" gumam Anwar sambil memegang peluitnya. Sekuat tenaga, dia tiup peluit itu. Menjadi terdengar peluit panjang hingga Anwar terjatuh.
Kerumunan mulai datang. Mereka ingin membantu Anwar, tapi itu malah menambah kemacetan jalanan. Simpang jalan dipenuhi dengan kendaraan yang diparkiran.
"Kenapa relawan itu?" Apa dia pingsan?" ujar seorang yang membawa helm warna merah.
"Mungkin kelelahan setelah seharian kepanasan di jalan ini," kata Ibu dengan anak yang digandengnya.
Hingga ambulan datang, banyak orang terus berdatangan.Tak ada yang mengira, Anwar meninggal dengan tiupan peluit terakhirnya.
Godean, 18 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H