Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Peluit Anwar

19 Juli 2023   09:57 Diperbarui: 19 Juli 2023   10:30 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kenapa mereka tidak mengeluh ya? Bukankah panas, seharian berada di sawah. Lalu, belum tentu mereka bisa merasakan panen. Kalau hujan, pasti basah dan keributan sering terjadi menjelang musim tanam. Berebut air," ujar Anwar.

"Mungkin karena mereka bersyukur. Tidak mengeluh dan menerima keadaan," kata penjual angkringan yang sudah selesai membuatkan teh hangat.

Minum teh di angkringan menjadi menyenangkan. Seperminuman teh bisa menggantikan rasa lelah seharian bekerja.

"Aku tidak masalah, kalau harus bangun pagi dan bekerja di sawah. Itu menjadi kesempatan untuk berbagi. Kalau petani tidak lagi mau bertani, menteri pertanian juga tidak akan disebut berprestasi bukan?"

Pertanyaan petani tua itu membuat Anwar tersadar. Tidak semua pekerjaan diukur dengan prestasi dan uang. Tidak bisa dimengerti memang, kepentingan mana yang dibela dalam pekerjaan.

***

Dua orang pemuda diminta datang ke pinggir jalan. Jalan di mana ada Anwar sedang bekerja. Memakai peluitnya, Anwar mengatur lalu lintas. Sesekali, Anwar melempar senyuman pada pengendara yang lewat.

"Arah mana ini, Mbak?" tanya Anwar.

Pemuda tadi menunjuk arah Godean. Arah di mana Anwar juga ingin pergi. Kalau bisa, Anwar ingin sekali segera pulang. Tentu dengan menikmati teh hangat di angkringan dekat desanya.
"Anwar, hari ini giliranmu jaga sampai malam ya. Aku mau persiapan pulang terlebih dahulu," ujar pemimpin Anwar. Tanpa memperhatikan apa yang menjadi jawaban Anwar, lelaki separuh baya tadi pergi begitu saja.

Kini, Anwar menatap jalan dan memperhatikan beberapa orang pulang. Sore datang kembali dengan cepat. Setelah dirasa jalanan kian ramai, Anwar memilih hanya berdiri di tepi jalan.

"Ayo, Pak. Tiup kembali peluitmu. Sekarang waktumu untuk bekerja!" ujar seorang pemuda yang kesal karena jalanan macet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun