Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tatapan Pematang Sawah

19 Juli 2023   07:56 Diperbarui: 19 Juli 2023   07:56 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tatapan Pematang Sawah

Cerpen Yudha Adi Putra

Dua orang pemuda berjalan beriringan. Mereka menuju ke arah sawah. Membawa alat untuk bertani dan minuman dalam bumbung bambu. Tak terlupa, ada kerbau mengikuti mereka. Kerbau jinak bernama Hura. Hura sudah cukup dewasa untuk membajak sawah. Ini adalah kali pertama Hura diajak oleh pemiliknya untuk membajak.

"Nanti kita akan membajak sampai mana saja?" tanya Setyo. Salah seorang pemuda yang membawa pacul. Tubuhnya gempal. Tapi, kalau memacul bisa kuat seharian.

"Sawah Lik Karyo dan Pakde Waluyo saja. Itu pesan dari Bapak tadi malam," sahut Haryo sambil menarik tali pengikat kerbau.

Perjalanan menuju sawah disambut kicauan burung. Kedua pemuda itu, dengan hati-hati memeriksa sawah yang akan dibajak. Memperhatikan tanah, setelah mendengar cerita tentang ular di sawah. Mereka berhati-hati.

"Memang ya, sawah itu tempat tinggal bermacam-macam. Kita berbagi tempat!" seru Haryo sambil membuka tikar lusuh yang terbuat dari daun pandan.

"Sini dulu, Lik. Kita merokok dulu sambil menunggu air memenuhi sawah. Kalau dibajak dalam keadaan keras, kasihan kerbaunya," ujar Setyo.

Ada beberapa petani lain mulai berangkat ke sawah. Mereka saling bertegur sapa. Menanyakan kabar sawah masing-masing. Tidak lupa, peristiwa kegagalan panen yang masih terkenang.

"Kalau kita tidak memakai pupuk sembarangan, pasti bisa panen!" ujar Lik Karmanto.

"Sepertinya bukan karena pupuk saja. Alat bajak yang tidak ramah lingkungan bisa membuat rusak. Belum lagi, kita mulai jarang datang ke sawah di waktu malam!" sahut Setyo.

"Memangnya ada apa di malam hari? Mau kena gigit ular seperti anaknya kepala desa itu?" kata Haryo.

"Tentu bukan. Kalau di malam hari, kita bisa mencari belut. Menikmati malam sambil terus berdoa memohon supaya diberikan panen yang melimpah," ujar Setyo.

Percakapan mereka terus membicarakan tentang sawah. Menjadi petani di desa memang menyenangkan. Bersama dalam suka dan duka. Meski begitu, tidak jarang mereka juga terlibat konflik. Misalnya, ketika musim kemarau dan berebutan air. Itu menjadi konflik bagi petani desa.

***

"Sepertinya tanah di sawah sudah cukup gembur. Ayo, kita kerahkan Hura untuk membajak!" kata Setyo.

Jawaban Haryo hanya anggukan kepala lalu memasang kuk bajak pada Hura. Secara perlahan, Hura diajak berjalan mengelilingi sawah. Perlahan, sawah mulai terbolak-balik tanahnya. Dari kejauhan, datang burung berwarna putih.

"Burung kuntul ini kelaparan. Mereka mau mendekat," ujar Setyo.

"Benar sekali. Tapi, kenapa tidak berani mendekat sampai ke sawah ya?" tanya Haryo.

"Mungkin burung itu ketakutan. Biasanya banyak penembak burung. Kalau tidak ditembak, ada yang memakai getah pohon nangka. Nanti kalau kena, bisa buat lauk orang-orang soalnya!" kata Lik Karmanto.

Hari kian siang benerang. Matahari bersinar terik. Mereka kehausan setelah setengah hari membajak sawah. Tak di sangka, dari pematang sawah tampak seorang perempuan. Perempuan itu membawa bakul.

"Makan siang sudah tiba! Ayo kita berteduh terlebih dahulu," ujar Esti menyapa mereka.

Adik dari Haryo itu membawa banyak makanan. Tidak lupa, ada air kelapa muda sisa panen kelapa kemarin sore.

"Ini siapa Har?" tanya Setyo.

"Aku lupa memperkenalkan. Ini adikku, sudah lama tidak kembali ke desa. Esti, kenalkan ini Setyo," kata Haryo.

Tak ada yang mengira, sebenarnya mereka sudah pernah berjumpa. Hanya saja, tidak enak kalau bilang belum pernah bertemu.

"Senang bisa bertemu denganmu kembali, Mas!" ujar Esti.

"Lho, kalian sudah pernah bertemu?" tanya Haryo.

"Hahaha. Siapa ini yang mau menceritakan?" kata Setyo.

Mereka kemudian tertawa bersama. Tatapan pematang sawah itu membawa pada kenangan. Kenangan beberapa tahun lalu ketika Setyo masih di kota dan bekerja. Ia pernah bertemu dengan Esti di sebuah kampus. Bukan sebagai mahasiswa, tapi penjual tempe keliling.

"Ternyata, Mas Setyo ini temannya Mas Haryo to!" kata Esti.

"Kami bersahabat sejak kecil. Meski jarang bertemu, sekali bertemu bisa bercerita panjang lebar!" kata Haryo.

Mereka kemudian makan bersama. Menikmati masakan Esti yang dirasakan keasinan.

"Kalau orang masak rasanya asin itu tandanya kenapa Har?" tanya Setyo.

"Kalau tidak salah dengar, orang itu ingin segera menikah. Hahaha," jawab Haryo.

Seketika, jantung Esti berdebar. Wajahnya menjadi merah karena malu. Tapi, Haryo dan Setyo malah tertawa bersama. Tak ada yang mengira, tatapan pematang sawah membawa pada kisah.

Godean, 19 Juli 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun