Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Minuman Soda dan Kampung dengan Tembok Tinggi

17 Juli 2023   17:18 Diperbarui: 17 Juli 2023   17:18 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin sudah tiba. Anak sekolah membawa tas mereka masing-masing. Tak lupa, bersalaman dengan orangtua. Sesekali, menatap kembali ke arah rumah. Mungkin, khawatir kalau ada yang tertinggal. Itu juga terjadi di rumah Jarwo. Derap langkah kaki terdengar jelas. Jarwo masih malas untuk bangun. Karena tidur di depan rumah, ia bisa melihat banyak anak sekolah mempersiapkan diri.

"Mungkin mereka harus upacara bendera. Tidak bisa terlambat meski sebentar saja," ujar salah satu tetangga bernama Arif. Arif saat itu sedang menyapu. Mendapati sebuah dompet terjatuh.

"Mas ! Ini dompetmu bukan?" pertanyaan itu membuat Jarwo terbangun. Apalagi, sudah semalam ia kebingungan akan dompetnya. Bukan menjadi masalah, hanya bergambar pria dengan pedang saja. Jarwo menjadi takut dengan dompetnya sendiri.

"Kalau harta hanya titipan. Kenapa titipan saya sedikit?" itu terulang terus hingga Jarwo tertidur. Pagi dan perjumpaan dengan temuan dompet membuat Jarwo tersadar. Kian hari kebutuhan hidupnya makin banyak. Tapi, tak ada penghasilan. Uang seolah selalu kurang.

"Bangun, Jar. Antar adikmu sekolah sana!" ujar Ibunya Jarwo.

Tak ada jawaban, Jarwo hanya sebentar memperhatikan dompetnya lalu kembali tidur. Mungkin dengan tertidur di pagi hari itu bisa memperlama masa sarapan.

"Kalau aku bangun siang, nanti bisa menghemat uang untuk membeli makan pagi. Jadi, makannya sekalian nanti di siang hari!" kata Jarwo dengan ketus.

***

Siang tiba, Jarwo sudah bangun dan siap menuju ke perpustakaan. Itu tujuan pertamanya. Buku ingin dipinjam dengan waktu membaca. Tidak banyak memang koleksinya. Hanya saja, ada sisa dari pameran potensi daerah. Itu membuat Jarwo terkesan.

"Pasti tempat ini ramai. Kalau tidak, mana mungkin sampai sekarang panggungnya saja masih terpasang. Aku mau membaca buku dan menenangkan diri, kalau saja banyak kesempatan untuk bermain," ujar Jarwo ketika melihat banyak tempat berjualan.

"Tidak baik sebenarnya membuat orang menunggu. Itu menjadi semacam notifikasi dalam dirimu!" tulisan itu terpampang di pintu menuju perpustakaan. Tak sengaja Jarwo membacanya. Melihat kumpulan rak buku dan mendapati senyuman petugas keamanan.

"Aneh sekali. Semua tempat menyindiri kehadiranku, memangnya apa yang salah dengan menanti dan mempersiapkan hal terbaik sebelum berjumpa?" gumam Jarwo.

Tidak ada yang spesial di perpustakaan. Hanya tumpukan buku. Sesekali, petugas perpustakaan berlari ke meja penerima tamu. Mengantar beberapa buku yang dipesan.

"Mungkin Anda tertarik dengan buku cerita tapi konflik dan tulisannya berbahasa Jawa. Itu akan mengolah kesempatan dan memberikan peluang untuk terus belajar," ujar petugas perpustakaan ketika Jarwo memperlihatkan buku cerita.

***

Tak mau banyak disebut terlambat, Jarwo segera menuju ke arah utara. Menyusuri jalan yang penuh dengan tanjakan. Ada kesempatan untuk minun, tapi Jarwo lewatkan begitu saja.

"Andai ada yang berjualan soda. Pasti itu akan menyenangkan sekali!" ujar Jarwo.

Perjalanan menjadi penuh pertanyaan. Rumah di sepanjang jalan ternyata bertembok tinggi. Entah karena uang mereka banyak. Tapi, bisa juga karena setiap tempat memiliki privasi masing-masing.

"Sudah sampai sebentar lagi. Tapi, tanda dari setiap perjalanan tidak bisa ditemukan," gumam Jarwo.

Menyenangkan bisa mendapatkan pengalaman di tempat baru. Bertemu beberapa petani dan mendapatkan kesenangan dengan desa. Tidak lupa, setiap tembok tinggi membawa misteri.

"Ada burung nuri. Kicauannya merdu sekali, tiap hari makan pisang dan tersenyum. Tidak bisa berlalu begitu saja," ujar Jarwo. Nuri itu bernama Bento. Senang berkicau dan makan pisang. Menarik bagi Jarwo, ada warna biru di kepala dan kuning di dekat kaki.

Ini akan menjadi momen menyenangkan. Perjalanan jauh pada setiap proses yang dimiliki. Ada perjalanan panjang mencari tempat membeli minuman. Bersama dengan beberapa catatan, tentu tentang tembok tinggi.

"Kenapa mereka memberikan tembok tinggi pada rumahnya?" ujar Jarwo pada setiap persimpangan jalan. Tidak ada jawaban yang memuaskan Jarwo. Melihat perilaku warga yang melintas, Jarwo sedikit mendapatkan pandangan.

Bagaimana tidak, ada seorang tua baya membawa kapak. Kapak itu dilemparkan ke jendela kaca milik tetangganya. Setelah itu, dia tertawa.

Jarwo menggaruk-garuk kepala dan menenteng sodanya.

Godean, 17 Juli 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun