Pertolongan Manto
Cerpen Yudha Adi Putra
Jarwo amat senang dengan tanaman. Seluruh halaman rumah di setiap sisinya ada bunganya. Bunga dan tanaman itu bahkan diberi nama oleh Jarwo. Bunga yang mekar selalu bergantian. Ada bunga pukul empat sore. Entah sebagai nama atau memang julukan. Bunga itu mekar di waktu sore. Tepat ketika orang berdatangan melihat kirab budaya. Ada saja bentuk perjuangan mereka.
"Ramai sekali di depan rumah. Aku bahkan tidak mengerti. Mereka datang dari mana saja. Bagaimana mungkin, jalanan yang panas dan begitu sepi ini. Semua jadi penuh dengan lautan manusia. Kalau saja aku bisa ikut, tentu aku mau berjalan dengan mereka,"
Harapan itu diungkapkan pada Jarwo ketika melihat Manto asyik berbenah. Tiap sudut desa adalah kewajiban Manto untuk terus memperbaiki. Terusan dari setiap perjuangan itu hanya berdampak singkat. Bisa jadi, Manto memperoleh upah sedikit dari menyapu tiap sudut desa dan mengamankannya. Manto memang sudah lama mengabdi menjadi hansip. Hanya saja, tidak setiap pengabdiannya itu dilihat. Lebih sering diabaikan, memang wajar hansip tidak banyak belajar.
"Kesal aku. Bagaimana mungkin, setiap tindakanku mengabdi tidak dihargai. Mungkin dikira hal sederhana. Berjaga semalaman itu bukan hal yang mudah. Semua kenikmatan tidur bisa aku tinggalkan. Perlu waktu lama untuk merasakan terbiasa,"
Keluhan Manto itu membuat Jarwo tidak melanjutkan percakapan. Ia memilih mendengar. Kalau saja, Manto memerlukan jawaban khusus, Jarwo bersedia. Ia hanya akan berkata iya dan siap. Tak mau mengecewakan kawan seperjuangannya itu.
Malam tiba dengan begitu cepat, Manto dan Jarwo kembali ke rumah masing-masing. Di depan rumah Manto, istrinya sudah menanti. Membuatkan teh hangat dan menyambutnya dengan pakaian rapi. Kalau memerlukan bantuan lain, tinggal bilang. Itu yang membuat Jarwo kadang iri. Meski hidup Jarwo berkecukupan, tapi sampai usia 50 tahun, dirinya belum menikah. Gadis yang pernah disukainya lebih memilih menikah dengan orang lain.
"Aku lebih senang dan tentram kini. Ketika pulang, selalu saja ada tanaman bunga menyambut. Memberikan semangat dan sukacita. Itu hal yang tidak bisa terulang, kini aku mau melanjutkan menulis cerita. Itu lebih baik, jika dibandingkan dengan mengeluh terhadap pahitnya keadaan,"
Perkataan Jarwo itu menjadi awal kata pertama dalam tulisannya. Sebelum mandi, Jarwo memang senang menulis terlebih dahulu. Menulis apa saja, terutama hal lucu di kesehariannya. Tapi, hari ini tak ada yang lebih lucu dibandingkan dengan keluhan sahabatnya, Manto. Keluhan yang sebenarnya wajar. Tapi, orang lain menyepelekan Manto juga wajar.
"Mungkin, memang relasi kuasa akan abadi. Karena tiap pandangan memiliki titik berangkat yang berbeda. Manto begitu yakin pekerjaannya bermanfaat. Lalu, banyak orang desa menganggap kalau pekerjaan Manto itu hal biasa. Kalau tidak ada Manto, tetap dapat berjalan sepenuhnya. Kalau ada, Manto hanya akan menjadi tempat untuk disalahkan. Mungkin saja, bukan hansip nama pekerjaan Manto. Tapi, lebih tepat dengan kambing hitam," ujar Jarwo sambil menikmati teh pertamanya di hari itu.
Sebelum melanjutkan menulis, Jarwo mendengar tangisan di depan rumah. Rupanya, ada anak sekolah yang kebingungan. Ia menangis karena tidak tahu jalan. Baju seragam sekolah masih lengkap. Senyuman masih ada di bibirnya. Hanya saja, tampaknya dia tidak senang dengan Manto.
"Aku mau pulang. Tapi, tidak tahu jalan. Bagaimana jalan menuju rumahku," ujar anak sekolah itu dengan bimbang. Ia seolah berbicara dengan bunga milik Jarwo.