Sawo Kembar
Catatan Yudha Adi Putra
Cuaca kian panas, apalagi hanya satu pohon di depan rumah Jarwo. Pohon sawo menemani rumah Jarwo. Belum berumur tua. Tapi, batangnya sudah tampak menghitam. Santi, istrinya sudah berulang kali menghendaki supaya pohon sawo itu ditebang saja. Ganti dengan pohon lain. Kalau bisa, pohon yang bisa menghasilkan buah dan menghalangi panas matahari. Sepintas Jarwo setuju, tapi kenangan dengan pohon sawo tak bisa tergantikan.
"Sudah bertahun-tahun berjalan. Hal baik terus berdatangan. Doa baik memberikan banyak manfaat,"
Jarwo mengambil es di kulkas. Menghentikan aktivitas menulisnya, lalu tersenyum di depan rumah sambil menatap jam. Tepat pukul satu siang. Pikiran Jarwo melayang pada pohon sawo. Menatap pohon sawo dengan hati-hati. Ada burung tinggal di sana. Membuat sarang dan berkicau setiap pagi.
"Sayang kalau nanti ditebang. Burung itu jadi tidak punya rumah,"
Lalu, Jarwo masuk ke rumah. Perutnya merasakan lapar dan mencoba mencari sesuatu untuk dimakan. Santi sudah pergi sejak pagi. Hanya Jarwo yang di rumah sendirian. Sebagai penulis lepas, Jarwo banyak menghabiskan waktu sendirian. Untuk mengamati dan membuat kerangka cerita.
"Kenapa kamu tidak menulis tentang pohon sawo kesayanganmu itu? Sudah tahu tidak banyak membantu. Masih saja tidak mau ditebang. Kalau saja ada pohon lain, pasti tidak akan terlalu panas. Lalu, dirimu bisa menulis dengan nyaman di rumah,"
Jarwo bimbang mendengar perkataan istrinya. Pikirannya terbayang tentang sawo. Ada kekhawatiran dia tak bisa kembali ke tempat bernama sawo lagi. Ada sawo kembar. Sebuah gereja tua peninggalan Belanda. Gereja yang pernah dikunjungi Jarwo. Jarwo juga masih ingin menulis tentang gereja itu. Lalu, ada lapangan sawo. Lapangan penuh dengan pohon sawo di sekelilingnya. Tapi, menurut berita yang didengar Jarwo. Semua pohon sawo di lapangan sawo sudah tidak ada. Hanya menyisakan nama saja, lapangan sawo.
Tapi, keluhan demi keluhan membuat istrinya tidak betah. Bahkan, kalau tidak tahu dan tidak bisa menebang sendiri pohon sawonya. Santi mau membantu, tentu dengan memanggilkan tukang potong pohon. Banyak orang bisa dimintai bantuan untuk memotong pohon sawo di halaman rumah Jarwo itu.
"Apa salahnya mulai menanam pohon lagi ? Jadi di rumah tidak hanya ada satu pohon sawo saja. Tapi, ada beberapa pohon. Selain membuat sejuk. Nanti, pasti banyak burung berdatangan untuk membuat sangkar. Jadi, burung tidak perlu dikurung seperti kalau kamu memelihara burung itu,"
Perkataan istrinya Jarwo itu jelas merupakan sindiran. Jarwo tak membalas, justru malah menatap lukisan sawo di ruang tamu. Berwarna coklat. Seperti mengatakan sesuatu.
"Sawo itu penuh kenangan," gumam Jarwo.
***
Santi kerap bertanya tentang pohon sawo di depan rumah. Ia melakukannya karena pohon sawo itu tampak kering tidak terawat. Jarwo tidak merespon dengan serius. Hari demi hari disibukkan dengan menulis tentang pohon sawo kembar. Tapi, pohon sawo yang dilindunginya malah tidak dirawat.
"Lantas bagaimana kalau pohon sawo di depan rumah itu mati ? Kita butuh pohon di depan rumah. Kalau tidak, cuaca akan makin panas dan kalau ada kegiatan di depan rumah tentunya jadi tidak nyaman. Bisa jadi, nanti malah dipakai tempat parkir sama sembarangan orang," protes Santi dengan raut muka kesal karena Jarwo masih asyik menulis.
"Nanti kalau dikasih pohon lagi saja bagaimana?" tanya Jarwo.
"Terserah. Aku lelah. Mau istirahat dulu," balas Santi dingin.
***
Santi bertemu dengan teman lama Jarwo. Mereka menjadi kawan dalam berbisnis. Pertemuan itu terjadi dengan tidak sengaja. Karena Santi menjatuhkan buku milik Haryo. Buku itu bertuliskan nama pena Jarwo. Tentu, Santi menjadi penasaran.
"Aku kenal dengan penulis itu," ujar Santi singkat.
"Wah. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Kau tahu dia di mana?" ujar Haryo.
"Tak sulit mencari orang di masa kini. Apalagi, orang itu punya banyak karya di mana-mana. Lagi pula, setiap tulisannya memang mudah dicari," kata Santi.
Percakapan terus berlanjut hingga Santi mengetahui satu hal tentang sawo. Tak hanya itu, ia juga menjadi marah dan membenci pohon sawo. Ketika bertemu pohon sawo di mana saja. Ada perasaan ingin meludahinya. Santi jadi mengerti kenapa Jarwo begitu menyukai pohon sawo.
***
Jejak langkah terus berjalan. Gereja sawo kembar menjadi tujuan pertama Jarwo dan Harni untuk berpergian. Gereja itu menghadap ke barat. Tepat dua puluh kilometer lagi ada lapangan sawo.
"Kita akan mengunjungi wisata sawo. Semua yang bernama sawo akan kita datangi hari ini," ujar Harni pada Jarwo.
"Kenapa harus sawo ? Aneh saja. Apa hebatnya sawo ?" tanya Jarwo yang masih tak mengerti. Ia heran, kenapa liburan semesteran hanya dipakai untuk mengunjungi tempat bernama sawo.
"Setelah itu. Kita akan membeli bibit sawo. Lalu, tanam di depan rumah. Mungkin bisa juga di pot. Biar bisa dibawa ke mana-mana. Apalagi, aku mau punya rumah banyak," ujar Harni pada Jarwo.
Percakapan itu ternyata menjadi perpisahan antara Harni dan Jarwo. Tak ada yang salah, sebab mereka saling mencintai.
***
Pulang kerja, Santi sudah dipenuhi amarah. Ia kesal, bagaimana mungkin suaminya masih mencintai wanita lain, bahkan ketika sudah menikah dengannya.
Beberapa saat setelah menuju gang rumah, akhirnya Santi sampai rumah. Kini, malah tidak mengenali halaman depan rumahnya. Rimbun penuh pohon, terutama ada bunga warna kuning kesukaannya. Tepat di depannya berdiri Jarwo dengan kotak hadiah, bertuliskan "Selamat ulang tahun, istriku,"
Godean, 03 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H