***
Pagi ini, Handoko bertekad untuk berjualan. Setelah dipecat dari tempat kerjanya, bahkan tanpa pesangon. Handoko tetap yakin bisa berwirausaha. Handoko melanjutkan resep keluarganya untuk membuat tempe.
"Aku yakin bisa menjual semua tempe ini," ujar Handoko sambil menatap motornya yang penuh dengan tempe. Sudah sampai di pasar, Handoko memarkirkan kendaraan tepat berada di samping motor warna merah. Itu motor milik Jarwo, tukang parkir pasar.
"Memulai jualan memang tidak mudah. Tapi, kalau tidak dimulai pasti tidak bisa mengerti bagaimana hasilnya," ujar Handoko sambil membawa dagangannya.
Menyusuri pasar, Handoko menawarkan tempe. Banyak tatap mata melihatnya, Handoko merasa canggung. Mungkin, dia belum terbiasa dengan tatapan banyak orang.
"Mas, saya mau beli tempenya. Berapa harganya?" tanya seorang perempuan dengan kain batik.
"Seribu dapat dua, Bu. Ini tempe tradisional. Bungkusnya saja pakai daun pisang," ujar Handoko bersemangat.
"Seribu dapat empat ya, Mas!" ujar perempuan tadi dengan ketus.
Hanya menggelengkan kepala, Handoko melanjutkan perjalanan. Begitu juga dengan perempuan yang menawar tempenya Handoko. Harga tawaran yang tidak masuk akal. Belum lagi, Handoko teringat akan tagihan yang harus segera dibayar dan menebus obat untuk ibunya. Ibunya sakit parkinson. Hanya bisa duduk di rumah. Berharap Handoko bisa segera pulang dengan membawakan obat.
Siang beranjak dengan cepat. Pasar kian ramai. Banyak pedagang dan calon pembeli berjumpa. Mereka saling tawar menawar. Pasar tradisional memang penuh dengan harapan. Perputaran uang memang sedikit. Tapi, ongkos untuk parkir tetap terjadi.
Itu yang membuat Handoko ketakutan. Belum sempat dia bisa menjual tempenya. Kini, dia berjalan menuju tempat parkir. Sudah ada Jarwo menanti, tukang parkir yang ramah. Ramah karena setelah ini pasti mendapatkan uang, begitu harap Jarwo.