Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Momen Proses Padi

16 Juni 2023   18:32 Diperbarui: 16 Juni 2023   18:33 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sedikit nyeri di pagi hari. Lamunan terjadi setelah duduk. Waktu memang masih cukup pagi. Terang mulai menerobong genteng kaca. Sambutan burung pleci juga memulai. Ada perasaan untuk memicu.

"Kedatangan harapan dinantikan pagi ini. Bersama banyak nilai lain. Tidak jarang, bentuk dari membaca adalah kesepian. Bersama beberapa kertas, ada harapan membaca sepuluh lembar. Tidak terlaksana," ujar Jarwo setelah bangun. Bukan burung yang dicarinya, tapi minuman.

"Merelakan malam bersama tangisan. Tidak peduli, uang siapa yang hilang. Untuk beberapa hal, tetap saja pagi menjelma menjadi doa. Ada susunan tawa, tapi tak sekeras kokok ayam yang gagal membangunkanmu," ujar Jeki pada Jarwo. Pagi itu, rencana tidak ada. Hanya persiapan untuk jeda.

Ke arah matahari, semua tanaman melirik. Menikmati sinar yang sedikit meredup. Ada mendung di kala pagi. Tidak seperti biasanya, suasana hati menentukan. Menjadi jeda atas setiap kesibukan.

"Boleh saja, jeda sejenak. Tapi, perjalanan menuju kowen harus tetap dilanjutkan," ujar Jeki sembar menyeduh kopi. Rokok pertama dinyalakan. Kemudian, muncul banyak kepulan asap beserta penyesalan.

"Andai, dulu aku lebih menghargai proses. Mendengarkan setiap nasihat guruku. Mencintai apa yang disebut tahapan. Tidak ingin serba instan. Pasti saja,"

Belum sempat Jarwo meneruskan ucapan. Ada telpon masuk. Nomor tidak dikenal. Ketakutan bermunculan. Memang, tidak semua siap menerima telpon di jam pagi.

"Mungkin semacam tawaran pekerjaan, Jar. Coba kau angkat saja. Katakan, apa yang dia minta," ujar Jeki.

***

Hening terjadi. Tak ada percakapan dalam perjalanan. Jarwo tak bercerita siapa yang menelponnya. Hanya saja, sejak saat itu ia menjadi murung kembali. Sapaan dan kicauan burung menjadi siapa. Jeki ikut keheranan, siapa yang membuat sahabatnya murung itu. Seperti sangat berdampak, hanya melalui telpon saja. Ada kesan seram dan menakutkan.

"Tak apa. Aku memang harus hidup dengan cara yang baru. Menjadi misterius. Melangkah perlahan. Sekarang, aku hanya lelaki dengan sangkar burung pleci. Tidak lebih," ujar Jarwo ketika Jeki bertanya tentang kenapa dirinya menjadi murung.

Kepastian tidak bisa diungkapkan. Jarwo mencari itu dari pagi. Menelusuri jalan menuju pasar. Menyapa beberapa hewan. Bukan karena pecinta hewan. Hanya saja, lebih tentram berbicara dengan hewan dibandingkan dengan manusia. Ada kelelahan ketika mendapati pagi kian meninggi.

"Mungkin sudah saatnya. Kita harus sarapan, Jar. Tidak baik, kalau jam delapan masih belum sempat makan," ujar Jeki mengajak Jarwo mendekati warung soto. Tanpa uang, mereka kebingungan. Tapi, perut kian lapar. Tak tertahankan, malam dilalui belum makan. Pagi tiba dengan segudang permasalahan, tanpa ada makanan.

"Kita pesan saja. Semoga ada keajaiban. Ketika kita percaya, pasti nanti ada jawaban. Paling tidak, kita tidak mati dalam keadaan lapar," ujar Jeki meyakinkan Jarwo.

Hanya terdiam. Jarwo mengamati sekeliling. Didapatinya sebuah sangkar, kosong tanpa burung. Pintu terbuka dan burung berterbangan mendekati sangkar itu.

"Mungkin itu burung lepas. Tidak dijaga dengan baik. Pasti saja, itu burungnya lepas tanpa pengawasan. Kasihan memang, tapi kita tidak bisa kasihan terhadap orang lain. Bagaimana rasa kasihan pada diri sendiri itu ?" ujar Jeki menyalakan rokoknya.

Warung soto sudah di depan mata. Namun, tetap saja keajaiban tidak kunjung tiba. Rasa lapar sudah melilit perut mereka.

"Mari silakan. Ada yang bisa kami bantu?" ujar pedagang soto dengan senyuman ramahnya.

***

Tak ada yang mengerti akan hari esok. Tiap pola kehidupan tak bisa diterapkan. Langkah menjadi mimpi sederhana. Pilihan untuk bersama burung menjadi hambatan.

"Paling tidak. Masih ada senyuman untuk terus dibagikan. Entah, nanti dalam bentuk kicauan atau lepas," ujar Jarwo.

Dalam kebimbangannya, Jarwo tetap menikmati hari Jumat sebagai bentuk manisan dalam hidup. Ada jeda, untuk sekedar menghibur diri. Menepi dari kesibukan yang tak berarti banyak. Semua bisa hilang dengan cepat. Bisa juga datang dengan cepat.

"Hidup tak akan pernah bisa didefinisikan," ujar Jarwo sambil memegang kembali burung pleci kesayangannya. Langkahnya tetap, menuju keentahan pada hidup. Semoga hal baik terjadi.

Godean, 16 Juni 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun