Kepastian tidak bisa diungkapkan. Jarwo mencari itu dari pagi. Menelusuri jalan menuju pasar. Menyapa beberapa hewan. Bukan karena pecinta hewan. Hanya saja, lebih tentram berbicara dengan hewan dibandingkan dengan manusia. Ada kelelahan ketika mendapati pagi kian meninggi.
"Mungkin sudah saatnya. Kita harus sarapan, Jar. Tidak baik, kalau jam delapan masih belum sempat makan," ujar Jeki mengajak Jarwo mendekati warung soto. Tanpa uang, mereka kebingungan. Tapi, perut kian lapar. Tak tertahankan, malam dilalui belum makan. Pagi tiba dengan segudang permasalahan, tanpa ada makanan.
"Kita pesan saja. Semoga ada keajaiban. Ketika kita percaya, pasti nanti ada jawaban. Paling tidak, kita tidak mati dalam keadaan lapar," ujar Jeki meyakinkan Jarwo.
Hanya terdiam. Jarwo mengamati sekeliling. Didapatinya sebuah sangkar, kosong tanpa burung. Pintu terbuka dan burung berterbangan mendekati sangkar itu.
"Mungkin itu burung lepas. Tidak dijaga dengan baik. Pasti saja, itu burungnya lepas tanpa pengawasan. Kasihan memang, tapi kita tidak bisa kasihan terhadap orang lain. Bagaimana rasa kasihan pada diri sendiri itu ?" ujar Jeki menyalakan rokoknya.
Warung soto sudah di depan mata. Namun, tetap saja keajaiban tidak kunjung tiba. Rasa lapar sudah melilit perut mereka.
"Mari silakan. Ada yang bisa kami bantu?" ujar pedagang soto dengan senyuman ramahnya.
***
Tak ada yang mengerti akan hari esok. Tiap pola kehidupan tak bisa diterapkan. Langkah menjadi mimpi sederhana. Pilihan untuk bersama burung menjadi hambatan.
"Paling tidak. Masih ada senyuman untuk terus dibagikan. Entah, nanti dalam bentuk kicauan atau lepas," ujar Jarwo.
Dalam kebimbangannya, Jarwo tetap menikmati hari Jumat sebagai bentuk manisan dalam hidup. Ada jeda, untuk sekedar menghibur diri. Menepi dari kesibukan yang tak berarti banyak. Semua bisa hilang dengan cepat. Bisa juga datang dengan cepat.