***
Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Hanya disebut lelaki tua, Pak Haryo kesal. Kakinya sudah lama diamputasi. Menjadi prajurit memang penuh risiko. Hari demi hari berganti, tidak memberi kesempatan untuk dinikmati.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan di masa pensiun seperti ini?" ujar Pak Haryo dalam lamunan.
Pagi belum sepenuhnya cerah. Masih gelap, pertanyaan seperti itu selalu bermunculan. Tak ada jawaban, gamang dan tidak menentu.
"Mungkin, aku akan ke gereja. Menemukan banyak warna baru dan harapan. Semoga saja, setiap kesedihan karena keadaan menjadi hilang," ujar Pak Haryo perlahan tapi terdengar oleh istrinya.
"Memangnya apa yang dirasakan pensiunan  tidak berguna seperti dirimun? Kerjamu cuma makan dan tidur saja. Ke gereja menebar tawa palsu. Tak ada yang mengerti kelakuanmu di rumah," bentak istri Pak Haryo.
Enggan ribut, Pak Haryo memilih untuk pergi. Mendorong semangat dan menggerakkan kursi roda. Melewati banyak pertanyaan di hari Minggu. Kenapa tidak ada yang mengantar, lalu kenapa harus gereja ?
***
Semenjak kehilangan kakinya, Pak Haryo menjadi penyandang disabilitas. Baginya, dulu kesalahan adalah kesalahan. Tak ada yang boleh salah, dia depresi karena kehilangan kaki. Kemudian, setiap perasaan kehilangan diperhitungkan. Namun, setelah menjadi penyandang disabilitas dia tidak anti terhadap kesalahan. Membela penjaga gereja pernah dilakukannya. Kini, ia ingin sekali bertemu penjaga gereja.
"Tak ada yang membiarkan langkah menjadi senyap. Semua berjalan pada tatapannya masing-masing," ujar penjaga gereja ketika melihat Pak Haryo. Percakapan terbangun, tapi dalam benak saja.
"Boleh saya memesan tempat duduk di belakang saja?" ujar Pak Haryo dengan senyuman dari kursi rodanya.