Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pleci Monty

3 Mei 2023   14:30 Diperbarui: 3 Mei 2023   14:26 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pleci Monty

Cerpen Yudha Adi Putra

Ada senyuman menyapa Jarwo. Senyum tulus, bukan seperti senyum tukang pakir. Perjalanan panjang sudah ditempuh. Beragam jumpa dirasakan. Malam berubah menjadi siang. Jarwo merencanakan banyak hal.

"Tetap saja, kita tidak bisa menentukan jadinya seperti apa ?" keluh Jarwo. Ketika mendekat, senyuman itu berangsur memudar. Mungkin, semacam semu. Tapi, Jarwo mengabaikan saja.

"Paling tidak. Ini bisa berganti suasana. Bukankah membosankan. Nanti mengulang hal yang sama. Bukan tanpa konflik. Namun, bisa ditebak dengan cepat. Langkah jadi percuma," keluh Handoko menyambut Jarwo datang.

"Kau sudah bawa kurungan burung ?"

Pertanyaan Handoko membuat Jarwo tersenyum. Ada perasaan bangga. Kelak, sangkar burung itu akan bisa menyelamatkan. Bukan hanya pada tuduhan saja. Kelak, ada pilihan lain dalam melangkah. Begitu, harapan Jarwo tak terucap. Lama tidak melihat perbedaan, Jarwo merasa kesepian.

"Tempat ini baru ? Tadi, sebelum menuju ke sini. Aku kesasar. Bukan karena lupa jalan. Memang dibuat bingung dengan keadaan," kata Jarwo meraih tangan Handoko.

Paling tidak, mereka sekarang sudah berjumpa. Melihat langkah demi langkah. Mengadu nasib, menukar senyuman dengan rupiah. Semoga, hari depan menjadi harapan akan kesehatan.

Orang yang tersenyum tadi terus mengamati Jarwo. Merasa risih, Jarwo teringat kembali. Perjalanan sebelum sampai di pasar.

"Nanti aku mau mencari tali. Manfaatnya cukup berguna, lebih mudah membawa pakai tali. Tidak seperti ini. Aku akan kesulitan kalau tidak ada tali yang digunakan," keluh Jarwo. Ia berusaha mengingat, masakan apa yang paling disukai.

"Bagaimana mengatasi orangtua kolot ? Lebih jelas, bapak yang kolot ? Pertanyaan itu muncul. Membawa pilihan untuk dipergumulankan," ujar Handoko.

Bukan hanya tentang kolot. Seolah, harus hemat dan menderita. Kalau belum menderita itu kayak bukan orang. Seolah, bahagia diperoleh setelah mengalami penderitaan. Memangnya, apa tidak boleh. Kalau bahagia lebih dahulu, tertawa dengan maksud yang dipilih.

"Mungkin, setiap orang punya perhitungan masing-masing akan hidup. Bisa juga, itu karena trauma. Muncul dengan perjuangan. Membawa keheningan dalam hidup. Tidak masalah, langkah yang dibilang kolot itu antisipasi," ujar Jarwo.

***

Pasar selalu menjadi tujuan banyak orang. Entah untuk membeli kebutuhan. Bisa juga karena pekerjaannya pedagang. Tidak jarang, mereka yang mencari hiburan. Menukar cucian celana pada kesunyian.

"Tidak masalah, asal bisa merasakan kebahagiaan. Bukan tidak mungkin, dalam selundup dan tangisan itu dimuat perasaan. Itu bukan hal yang tampak saja, tapi ada makna dalam galian perjumpaan," ujar Jarwo.

Mereka yang menjadi tukang parkir akan membosankan. Menunggu motor datang. Menata jika berantakan. Belum lagi, kalau barang hilang. Tidak ada yang bertanggung jawab. Bisa saja, melelahkan. Menerima uang dua ribu sebagai imbalan.

"Kenapa membayar tukang parkir menurutmu, Jar ?" tanya Handoko. Kini, Jarwo menyadari. Sambutan senyuman tadi memang bukan tukang parkir. Tapi, ada orang gila.

"Pasar bisa memuat banyak kepentingan. Lebih indah dari hati," jawab Jarwo singkat.

Perlahan, langkah demi langkah tervalidasi. Ada tujuan masing-masing.

"Mereka menjual ayam bukan berarti tidak butuh ayam. Hanya saja, menjual menjadi bentuk perputaran selanjutnya. Lalu, apa yang akan dijual sebelum semua menjadi ramai ?"

Semacam pertanyaan. Menjual pleci monty. Bukan hanya untuk dipelihara. Tapi, pleci monty menjadi obat atas hidup.

"Berapa banyak kehilang ketika tidak difasilitasi dengan kegembiraan. Bukti nyata, kalau bahagia itu tidak perlu uang. Bukan tidak perlu, tapi tidak melulu tentang uang," ujar Handoko.

Tatapan menjadi sayu, Jarwo masih membawa sangkar kesayangannya. Digendong dengan tali, lalu berjalan berkeliling.

Tanaman bunga tidak dilupakan. Jarwo mengecek perlahan, menatap bunga demi bunga. Meminta harapan bisa tumbuh dan mekar.

"Aku seperti burung dalam sangkar. Semua tersedia, bisa saja tidak bebas dan merdeka. Belum tentu juga kemerdekaan menjadi baik untukku. Langkahku masih membosankan, tentu bagi beberapa orang. Anggapan itu benar adanya," Jarwo berkata demikian karena ingat pleci monty kesayangannya terlepas.

"Bukankah sekarang dia sudah bebas ?" tanya Handoko.

Jarwo hanya menggeleng. Tak menentu arah jalan kehidupan.

Godean, 03 Mei 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun