Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mungkin

13 Maret 2023   20:40 Diperbarui: 13 Maret 2023   20:56 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin

Cerpen Yudha Adi Putra

                Tatapan perempuan itu dingin. Dia memainkan gitar akustik. Angun dengan petikan merdu. Beberapa orang bernyanyi di belakangnya. Seperti penyanyi pada umumnya, ada pelantang. Tak kurang, alat musik lain juga meramaikan. Terus saja, perempuan tadi membiarkan banyak tatapan mata melihatnya.

                "Untung saja, aku bisa bangun pagi. Mungkin, kebingungan mencari jalan membuat sedikit terlambat," ujar Kirana.

                "Tidak terlambat. Mereka masih saja latihan. Kamu sudah hafal lagu untuk kebaktian Senin ini ?" tanya Harni.

                "Lebih ke tidak peduli. Biar saja, aku pakai masker. Kalau bernyanyi dan tidak bernyanyi semua tidak terlalu nampak. Nikmati saja,"

                Tadi, dalam perjalanan ke tempat ibadah, Kirana memang terburu. Jalanan macet, ia sempat melewati jalan yang belum pernah ia coba. Untuk menghindari polisi mengalihkan jalan.

                "Tadi, aku belok kanan di perempatan Pingit. Mencoba hal baru, jalanan cukup ramai kalau pagi. Itu mereka pemalas atau jam masuk sekolah sama semua ?" gerutu Kirana dalam perjalanan menuju kantor.

                "Memang jam segini padat semua. Kamu tahu tidak, jalan itu biasanya rawan pengecekan. Sering aku kena tilang di sana, polisinya siaga terus. Melanggar sedikit saja, langsung dikejar,"
                "Apa mungkin kerjaannya seperti itu ya mereka ?"

                "Tidak buru-buru. Tempat bekerjanya memang di sana. Seperti itu malah yang membuat kemacetan. Bukan karena banyak kendaraan. Tapi, orang memilih memutar jalan. Jalan lain bebas polisi meski tidak pakai helm,"

                "Begitulah perjuangan pagi. Aku juga melihat pengemis kecil," kata Kirana.

                "Sengaja lewat sana ? Tempat itu memang banyak pengemis. Konon, mereka berasal dari tempat penampungan sama,"

                "Perdagangan anak memang sedang marak sekarang. Laku keras, kita hidup di masyarakat yang kasihan masih identik dengan kasih. Kalau tidak kasih, pasti ya kasihan," lanjut Harni.

                "Tak apa, di sini bisa hidup dengan apa saja. Tapi, lihatlah," kata Kirana menunjuk ke arah lonceng.

                Sepasang burung saling menyuapi dengan paruhnya. Mereka tampak mesra untuk burung. Kalau manusia seperti itu, pasti sudah dianggap tidak tahu diri. Apalagi, kalau melakukannya di tempat umum. Zina.

***

                Duduk mendengarkan memang melelahkan. Apalagi, apa yang didengarkan tidak sesuai harapan. Tapi, tidak masalah jika di samping ada seseorang. Mungkin, itu baru menjadi tantangan. Bisa untuk berkenalan, bisa juga menjadi kecanggungan.

                "Dia sepertinya bukan pegawai baru. Tapi, tetap saja aku tidak bisa mengenalinya," ujar Kirana.

                "Mungkin saja, dilihat dari pandangan yang baik. Dia memerlukan lebih perhatian ?" sahut Hesti yang duduk di samping Kirana.

                Mereka menikmati acara hingga selesai. Tatapan mereka saling selidik. Banyak kemungkinan bermunculan. Tidak jarang, karena dalam satu tempat sama tapi tidak saling sapa. Mereka ingin hal mungkin lain, seperti mungkin menjadi rekan kerja yang baik. Paling tidak, itu bermanfaat untuk memulai Senin dengan banyak mungkin lainnya.

                "Kita akan bertemu setiap hari Senin. Mungkin baik, kalau berkenalan. Namaku Kirana Dhinanty. Siapa namamu ?" ujar Kirana sambil mengulurkan tangannya.

                Ada jabat tangan erat. Tanpa jawaban yang dinginkan, Kirana memungkinkan untuk tersenyum.

***

                Perpustakaan buka lebih cepat dari biasanya. Kirana menanti jam dan pergantian rapat. Kala itu, koran menjadi bacaan menyenangkan. Pojok kanan bawah, ada nama yang tertulis. Sebuah cerita lucu dan receh. Sungguh-sungguh terjadi, bisa juga menjadi bualan dan karangan semata.

                "Memangnya, cerita mana yang mungkin benar terjadi ? Semua tentu karangan. Itu sudut pandangan. Lalu, setelah ini apa yang akan kau lakukan ?"

                "Mungkin," belum sempat Kirana melanjutkan perkataannya. Ada rombongan orang berbatik datang. Mereka tampak sibuk membawa berkas.

                "Itu dari akreditasi. Ada kunjungan. Mungkin bisa pindah ke tempat yang lain ?" pinta petugas perpustakaan.

                Tak ingin merasa menganggu dan terganggu, Kirana meninggalkan perpustakaan. Bersamaan dengan kemungkinan perjumpaan yang lain. Ia menuju sebuah tempat, bernama toilet. Mengumpulkan banyak tenaga. Baju dan rambut dirapikannya.

                "Mungkin ini saatnya. Aku harus berani. Tidak perlu malu. Lagi pula, itu semua adalah hakku !' ujar Kirana pada dirinya sendiri di cermin.

                Mungkin, itulah ritual membangun kepercayaan diri. Menatap perlahan, sebelum menuju tempat untuk meminjam uang.

Godean, 13 Maret 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun