"Sengaja lewat sana ? Tempat itu memang banyak pengemis. Konon, mereka berasal dari tempat penampungan sama,"
        "Perdagangan anak memang sedang marak sekarang. Laku keras, kita hidup di masyarakat yang kasihan masih identik dengan kasih. Kalau tidak kasih, pasti ya kasihan," lanjut Harni.
        "Tak apa, di sini bisa hidup dengan apa saja. Tapi, lihatlah," kata Kirana menunjuk ke arah lonceng.
        Sepasang burung saling menyuapi dengan paruhnya. Mereka tampak mesra untuk burung. Kalau manusia seperti itu, pasti sudah dianggap tidak tahu diri. Apalagi, kalau melakukannya di tempat umum. Zina.
***
        Duduk mendengarkan memang melelahkan. Apalagi, apa yang didengarkan tidak sesuai harapan. Tapi, tidak masalah jika di samping ada seseorang. Mungkin, itu baru menjadi tantangan. Bisa untuk berkenalan, bisa juga menjadi kecanggungan.
        "Dia sepertinya bukan pegawai baru. Tapi, tetap saja aku tidak bisa mengenalinya," ujar Kirana.
        "Mungkin saja, dilihat dari pandangan yang baik. Dia memerlukan lebih perhatian ?" sahut Hesti yang duduk di samping Kirana.
        Mereka menikmati acara hingga selesai. Tatapan mereka saling selidik. Banyak kemungkinan bermunculan. Tidak jarang, karena dalam satu tempat sama tapi tidak saling sapa. Mereka ingin hal mungkin lain, seperti mungkin menjadi rekan kerja yang baik. Paling tidak, itu bermanfaat untuk memulai Senin dengan banyak mungkin lainnya.
        "Kita akan bertemu setiap hari Senin. Mungkin baik, kalau berkenalan. Namaku Kirana Dhinanty. Siapa namamu ?" ujar Kirana sambil mengulurkan tangannya.
        Ada jabat tangan erat. Tanpa jawaban yang dinginkan, Kirana memungkinkan untuk tersenyum.