Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sirkuit Tambakrejo dan Keinginan yang Tertunda

13 Maret 2023   19:30 Diperbarui: 13 Maret 2023   19:39 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sirkuit Tambakrejo dan Keinginan yang Tertunda

Cerpen Yudha Adi Putra

Kalau punya keinginan, apa saja pasti dilakukan. Keinginan menjadi semacam bahan bakar. Tak akan habis meski dalam perjalanan panjang. Bahan bakar yang akan memanasi kendaraan. Membuatnya terus berjalan. Kadang, bahan bakar perlu diisi kembali. 

Tapi, keinginan tidak. Hanya dipastikan saja, bahwa keinginan itu siap menghadapi kenyataan. Ada penolakan. Kegagalan di mana keinginan tidak terwujud. Bagaimana lagi, begitulah realita keinginan. Dia tidak selamanya bisa mewujud menjadi kenyataan. Apalagi, ketika bibit kegagalan sudah mulai tampak. Keinginan seperti menghadapi dilema panjang ? Apa mau dipupus, bisa juga dibakar dengan semangat yang membara. Semangatnya bisa muncul dari mimpi dan pengharapan.

"Mas, besok Minggu kita jadi ke Tempe ya ? Aku mau lihat balapan dan membeli sempol ayam. Itu sore hari, pasti nikmat sekali. Semoga saja tidak hujan, jadi bisa menikmati keadaan," ujar adiknya Jarwo yang kini tengah berkeinginan. Melihat balapan menjadi bagian dari impiannya. Sebuah keinginan yang wajar bagi anak remaja. Apalagi, di dekat rumah mulai bermunculan balapan liar. Sepulang sekolah, ada saja balapan liar diadakan. Meresahkan masyarakat, tapi itu menjadi keinginan beberapa remaja.

                "Semoga saja. Begini, jangan pernah mendekat balapan liar di selatan rumah itu. Mereka berbahaya. Kalau saja ada yang bawa senjata tajam. Sebenarnya, mereka sangat berbakat. Tapi, penyaluran bakatnya tidak ada," kata Jarwo.

                "Penyaluran bakat bagaimana, Mas ?"

                "Coba saja, kalau ada sirkuit balapan di tiap kecamatan. Pasti, mereka bisa balapan di sana. Tidak dijalanan sepi pinggir sawah. Bikin takut warga sekitar," jawab Jarwo.

                Memang, beberapa hari ini. Ada balapan liar di dekat desa. Sudah ada yang melaporkan ke polisi. Tetap saja, bilangnya akan ditindaklanjuti.

                "Mereka anak yang berbakat, Pak !"

                "Semoga saja ada jalan keluarnya. Mereka perlu pembinaan,"

                "Nanti, kami akan koordinasikan dengan pemangku kepentingan. Ada lahan luas milik negara di dekat kantor polisi. Mungkin saja, itu bisa menjadi tempat balapan mereka !" kata pimpinan polisi tingkat kecamatan.

                Jawaban itu hanya dibalas senyuman. Seolah, mereka yang lapor ke polisi tahu. Kalau nanti balapan diadakan di dekat kantor polisi. Pasti saja tidak akan ada yang mau balapan. Mereka pasti ketakutan.

                Malam tiba, Jarwo masih asyik menuliskan cerita. Ia berjanji, ceritanya harus selesai sebelum hari berganti.

                "Nanti, itu akan jadi keinginan yang tertunda kalau tidak selesai,"

                "Mungkin sekarang menulis cerita seperti balapan liar saja. Asal selesai dan cepat, bisa saja tidak tepat !" keluh Jarwo mendengar harapan teman-temannya. Mereka senang bercerita tapi tidak dengan menuliskannya.

                Adiknya Jarwo masih menunggu, itu karena jadwal makan malam bersama. Sebuah kebiasaan yang tak bisa dilewatkan.

                "Mas, ayo makan dulu. Nulisnya nanti lagi, biar bisa tambah semangat menuliskan ceritanya !'

                "Aku tidak menulis cerita. Ini sedang balapan liar,"

Mereka berdua akhirnya tertawa. Sejak kehilangan kedua orangtuanya, Jarwo dan adiknya hidup berdua. Hampir setiap makan berdua. Kala makan itulah, mereka saling bercerita. Tentang hari yang berhasil dilewati. Bahkan, merajut mimpi setelah lulus sekolah nanti. Apa saja diceritakan. Tapi, tidak soal kehilangan harapan. Itulah yang perlahan dirasakan Jarwo. Hanya dengan bertemu adiknya, ia merasa masih ada tanggung jawab yang perlu dikerjakan. Sebuah warisan, bahkan wasiat dari kedua orangtuanya.

"Jaga adikmu, Jar. Meski ia kerap akan menunda keinginanmu. Tapi, percayalah bahwa kebahagiaanmu akan bertambah. Bukan karena keinginanmu yang terwujud. Kebahagiaanmu akan menjadi sempurna, jika kamu berhasil membahagiaakan oranglain, apalagi dia adikmu !"

                Jarwo tak menjawab perkataan Ibunya itu. Kini, Bapaknya hanya memeluknya. Untuk pertama kalinya, Jarwo melihat Bapaknya meneteskan air mata. Peristiwa itu terjadi tujuh tahun yang lalu. Ketika adiknya Jarwo masih kecil.

                "Mas, kenapa ngalamun. Besok Minggu jadi benaran ya ?"

                "Kalau tidak jadi. Nanti aku berangkat sendirian saja !" kata adiknya Jarwo mulai marah karena tak diperhatikan oleh Jarwo.

                "Jadi ! Kita tidak akan menunda kebahagiaan dengan keinginan lain," kata Jarwo.

                Adiknya bingung. Tapi, mereka akhirnya makan bersama.

Godean, 13 Februari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun