Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Plastik Pembungkus Gorengan

12 Maret 2023   19:30 Diperbarui: 12 Maret 2023   19:30 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Plastik Pembungkus Mendoan

Cerpen Yudha Adi Putra

                Kali ini, Jarwo memulai hari dengan senyuman. Sudah sebulan, tak ada kabar gembira baginya. Hanya pada pagi ini, sebuah cahaya menembus kamarnya. Cahaya matahari tepat jam enam pagi. Bukan kebetulan, Jarwo terbangun karena ada banyak teriakan. Hanya kesunyian dalam hatinya, tanpa teriakan. Kini, sapaan pertama yang diterimanya adalah kicauan burung.

                "Lama tidak berjumpa ? Apa kamu masih baik-baik saja ?"

                "Harapan apa lagi yang membuatku baik ?"

                Nyata sekali, bayang pertanyaan itu menghampiri Jarwo. Ia bimbang, apa hari esok memberinya jawaban. Kini, pagi dimulai dengan senyuman. Bukan karena dia mampu. Ada sarapan dan sapaan yang mendatanginya.

                "Kita bisa makan enak, sehari tiga kali, tanpa menatap kebencian dalam hari !"

                "Bukan begitu, apa kita bisa memilih ? Aku ingin sekali memilih untuk menjalani hal-hal yang membuat aku senang," Jarwo berharap dalam tulisannya.

                Kantuknya perlahan menghilang. Perut mulai terasa lapar. Ia tersadar, sudah tiga hari belum makan nasi. Hanya pisang dan senyuman saja. Kini, langkahnya mantap menuju sebuah tempat. Untuk menimba harapan.

                "Makan untuk apa lagi ? Kita memang punya pilihan ?"

                Bukan pertanyaan, ia butuh jawaban beserta sarapan. Begitu, dalam hati Jarwo berkeinginan.

                "Mbah, apa bisa aku pesan bakmie ? Tanpa aku harus hadir menyapa penjual. Aku enggan bertemu antre. Menyapanya perlahan, lalu tiba-tiba dia menghilang. Penuh dengan kenangan. Senyuman palsu. Satu kata, kata yang siap menggambarkan sebuah benci," pinta Jarwo pada penjual sayur.

                Langganan banyak ibu-ibu malas masak. Belum lagi, langkah perlahan dituju. Sebuah senyuman menawarkan. Gorengan baru saja pindah dari wajan. Penuh dengan asap dan minyak. Nikmat bersama pagi dan teh hangat. Kalau tidak suka kopi, bukan masalah bagi Jarwo. Tetap saja, ia menikmati waktu bersama orang yang dibencinya. Perlahan, waktu berjalan lama. Lama sekali, bahkan detik terasa jam.

                "Tak berlebihan. Kini, membeli sarapan menjadi menyebalkan. Rupanya, dia juga membeli makan di tempat yang sama. Harus aku yang pergi atau dia ?"

                "Mungkin saja, tidak banyak yang merasa kehilangan. Lumayan bukan, uang lima ribu bisa dapat sayuran sampai kenyang ?"

                Tanpa perasaan kasihan, Jarwo pergi meninggalkan tempat berjualan sayuran. Hanya kesunyian, ia menerima banyak penghargaan. Akan hidup, penuh cinta dan pertanyaan.

***

                Setelah melihat banyak kejadian, mulai dari melihat kirab. Ada beberapa percikan kenangan. Tiba pada masa silam, bahwa hidup harus terus berjalan. Kemungkinan serba muncul, bisa jadi kekecewaan bertambah.

                "Kenapa tidak ikut kirab ? Bukankah itu cara menikmati bersamaan ?"

                "Apa yang salah dengan berbeda. Menjadi otentik bukan hanya harus bersama. Kita bisa saja berbeda. Berjuang dalam perjalanan kita masing-masing. Sunyi ? Tentu !" jawaban Jarwo itu membuat burung berkicau.

                Semua seolah senang, mendapatkan tatapan dan pengakuan. Kini, soal perkenalan. Siapa yang bisa menyangka ada perkenalan dalam bungkus mendoan. Perjalanan dan upaya membungkus mendoan, bisa jadi cara untuk kenalan.

                "Saya berjualan di dekatnya, Mas Agus. Boleh mampir, Mas. Cuma jualan es, siapa tahu cocok," sebuah tawaran. Kini, semua menjadi menyenangkan.

                Tiba saatnya, hal menyebalkan berdatangan. Tepat pukul dua siang, ajakan tak menyenangkan dimulai. Memang, tidak boleh menolak. Kadang, semua harus diiyakan supaya baik-baik saja. Ruang dalam hati, bergejolak.

                "Semoga nanti aku bisa membeli burung, lumayan untuk menenangkan diri. Kemungkinan menyakitkan hari esok biarlah," keluh dan harapan bersatu dalam ungkapan Jarwo.

                "Apa mungkin, sore hari bertambah lagi ? Bukannya tidak ada burung untuk ditinggali ?"
                "Itu menjadi hiburan," jawab Jarwo. Kedua temannya keheranan, semua pelampiasannya pada menulis. Tentang burung dan kekecewaan. Bahwa hidup terus berjalan, tapi tak sesuai keinginan. Ketakutan menjadi teman dalam perjalanan. Plastik pembungkus gorengan tetap di sebelah Jarwo.

                "Plastik itu tadi pagi, bersama keheningan yang aku benci. Kini, memang hidup tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Setidaknya, ada burung yang bisa dipelihara. Ia nyata, dalam kurungan menyanyi bahagia. Mungkin, menangis juga," keluh Jarwo pada sebuah sore. Ia meremas plastik pembungkus gorengan. Melemparnya ke arah sungai. Ia larut, bersama banyak kebencian. Pada kesepian, kicauan burung terdengar perlahan. Jarwo tersenyum menutup hari.

                Godean, 12 Maret 2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun