"Mbah, apa bisa aku pesan bakmie ? Tanpa aku harus hadir menyapa penjual. Aku enggan bertemu antre. Menyapanya perlahan, lalu tiba-tiba dia menghilang. Penuh dengan kenangan. Senyuman palsu. Satu kata, kata yang siap menggambarkan sebuah benci," pinta Jarwo pada penjual sayur.
        Langganan banyak ibu-ibu malas masak. Belum lagi, langkah perlahan dituju. Sebuah senyuman menawarkan. Gorengan baru saja pindah dari wajan. Penuh dengan asap dan minyak. Nikmat bersama pagi dan teh hangat. Kalau tidak suka kopi, bukan masalah bagi Jarwo. Tetap saja, ia menikmati waktu bersama orang yang dibencinya. Perlahan, waktu berjalan lama. Lama sekali, bahkan detik terasa jam.
        "Tak berlebihan. Kini, membeli sarapan menjadi menyebalkan. Rupanya, dia juga membeli makan di tempat yang sama. Harus aku yang pergi atau dia ?"
        "Mungkin saja, tidak banyak yang merasa kehilangan. Lumayan bukan, uang lima ribu bisa dapat sayuran sampai kenyang ?"
        Tanpa perasaan kasihan, Jarwo pergi meninggalkan tempat berjualan sayuran. Hanya kesunyian, ia menerima banyak penghargaan. Akan hidup, penuh cinta dan pertanyaan.
***
        Setelah melihat banyak kejadian, mulai dari melihat kirab. Ada beberapa percikan kenangan. Tiba pada masa silam, bahwa hidup harus terus berjalan. Kemungkinan serba muncul, bisa jadi kekecewaan bertambah.
        "Kenapa tidak ikut kirab ? Bukankah itu cara menikmati bersamaan ?"
        "Apa yang salah dengan berbeda. Menjadi otentik bukan hanya harus bersama. Kita bisa saja berbeda. Berjuang dalam perjalanan kita masing-masing. Sunyi ? Tentu !" jawaban Jarwo itu membuat burung berkicau.
        Semua seolah senang, mendapatkan tatapan dan pengakuan. Kini, soal perkenalan. Siapa yang bisa menyangka ada perkenalan dalam bungkus mendoan. Perjalanan dan upaya membungkus mendoan, bisa jadi cara untuk kenalan.
        "Saya berjualan di dekatnya, Mas Agus. Boleh mampir, Mas. Cuma jualan es, siapa tahu cocok," sebuah tawaran. Kini, semua menjadi menyenangkan.