Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kecelik

26 Februari 2023   14:59 Diperbarui: 26 Februari 2023   14:56 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecelik

Cerpen Yudha Adi Putra

                Akhirnya, hari Minggu tiba. Hari yang selalu dinantikan oleh Jarwo. Menjadi buruh pabrik, bisa libur tentu didamba. Banyak tuntutan kerja. Utang tak terbayarkan. Menanti gajian. Paling tidak, hari Minggu memberi jeda. Seperti Minggu ini, ia berencana berjalan ke pasar. Mencari burung atau harapan untuk dihibur. Penat di rumah. Hari berulang begitu saja baginya.

                "Mas, gas sudah mau habis. SPP untuk anak kita, harus segera dibayar sebelum tanggal sepuluh ya !" kata istrinya Jarwo sambil menyerahkan kopi.

                Kopi menjadi kawan di kala pagi. Bersama kicau burung di depan rumah, Jarwo menikmati pagi.

                "Baik. Sekarang, sudah tanggal berapa ? Perasaan kemarin baru saja beli !"

                "Sekarang tanggal delapan, Mas. Kan, besok tanggal lima belas ada pentas jathilan di pojok desa. Bagaimana ? Kita nonton ya !" teriak adiknya Jarwo, laki-laki bernama Topo itu keluar dari kamarnya. Membawa sangkar burung. Burung melompat-lombat. Seolah senang, selimut kain di sangkar dilepaskan.

                "Ya Tuhan. Bayar jadi buruh apa cukup buat ini semua," gumam Jarwo. Ia tak berani berkata-kata. Melihat anak perempuannya berlari menuju ke arahnya.

                "Pak, aku pamit dulu. Mau berangkat sekolah Minggu. Itu sama Tina. Sudah di depan dia !"

                "Iya, hati-hati," sambil meraih tangan mungil itu, Jarwo menatap mata anak perempuannya.

                "Nanti, kita jadi beli tas ya, Pak ?" anak itu memastikan janji Bapaknya. Janji yang selalu ditunda. Bukan karena ingkar janji, tapi uang yang tidak ada.

                "Kalau Bapak punya uang ya, nak," belum sempat Jarwo melanjutkan ungkapan penenang pada anaknya, Tono juga mendekat.

                "Nanti, kita mau jual burung kuning ini. Kalau laku, bisa buat beli tas. Jadi, sekarang kamu sekolah Minggu dulu. Hati-hati di jalan ya !" ujar Tono pada keponakannya itu.

                Hanya ada senyuman tampak di wajah istrinya Jarwo. Sudah lama, ia merasa bersyukur memiliki adik sebaik Tono.

                "Mas, kita ke pasar jam berapa ini ?"

                Menyalakan rokok, Jarwo terdiam dan menatap jarum jam mengejeknya perlahan. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi kurang sedikit lagi. Kicau burung, turut menemani.

***

                Malam berlalu begitu cepat bagi Darso. Ada kumpulan di rumahnya. Makanan masih sisa banyak. Darso berharap, ia bisa berbagi pada Jarwo.

                "Jar, nanti jadi ke pasar jam berapa ?"
                Sebuah pesan singkat masuk di ponsel Jarwo. Darso mengirimkan. Ia bimbang. Apa benar, Jarwo sudah tidak bekerja. Banyak yang bilang begitu, tapi dia tetap tidak percaya. Jika tidak cerita, ia enggan bertanya pada Jarwo.

                "Semoga, Jarwo masih bisa aku temui. Nanti, aku mau bawakan makanan ini. Lumayan, buat makanan anaknya. Pasti, Mita senang sekali dengan kue kecil-kecil itu !"

                "Iya, Mas. Nanti aku siapin. Mau berangkat jam berapa ?"
                "Aku mau mandi dulu, sebentar lagi. Jam sembilan aku coba hubungi Jarwo lagi."

                Pagi berlangsung sangat cepat. Darso belum sempat menulis pesan untuk Jarwo. Tiba-tiba, ia menerima tamu. Tamu itu adalah bosnya Jarwo.

                "Kawanmu itu banyak utang. Aku mau menagihnya. Apakah kau tahu rumahnya di mana ?"
                Darso bingung, tak mengira. Sahabatnya kala SMP itu sekarang menjadi bosnya Jarwo. Di antara pilihan rumit, Darso menuju ke rumah Jarwo bersama lelaki bernama Gandung itu.

                "Dulu, kita bermain di lapangan ini ya, Dar. Sekarang, aku sudah tidak bisa bermain sepak bola lagi."
                "Lah, kenapa memangnya ?" tanya Darso.

                "Kakiku sudah diamputasi, ini kaki palsu. Makanya, aku butuh banyak uang untuk berobat. Apalagi, sekarang usahaku mulai menurun omsetnya."
                "Semoga saja lekas membaik ya. Itu, nanti kita belok kanan. Ada rumah menghadap ke arah jalan. Itu rumahnya Jarwo."

                Mereka lalu memaju kendaraan lebih kencang. Cuaca pagi menjadi begitu menebarkan bagi Darso. Bahkan, di tempat lain, Jarwo merasa kebingungan. Tak mau menanti lama, ia menuju ke rumah Darso. Melalui jalan lain, sehingga tidak berpapasan oleh Darso dan bosnya itu.

                "Mas Jarwo sudah pergi, Mas !" kata istrinya Jarwo.

                Darso tersenyum lega. Bosnya bingung, merasa dibohongi.

Godean, 26 Februari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun