"Kalau Bapak punya uang ya, nak," belum sempat Jarwo melanjutkan ungkapan penenang pada anaknya, Tono juga mendekat.
        "Nanti, kita mau jual burung kuning ini. Kalau laku, bisa buat beli tas. Jadi, sekarang kamu sekolah Minggu dulu. Hati-hati di jalan ya !" ujar Tono pada keponakannya itu.
        Hanya ada senyuman tampak di wajah istrinya Jarwo. Sudah lama, ia merasa bersyukur memiliki adik sebaik Tono.
        "Mas, kita ke pasar jam berapa ini ?"
        Menyalakan rokok, Jarwo terdiam dan menatap jarum jam mengejeknya perlahan. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi kurang sedikit lagi. Kicau burung, turut menemani.
***
        Malam berlalu begitu cepat bagi Darso. Ada kumpulan di rumahnya. Makanan masih sisa banyak. Darso berharap, ia bisa berbagi pada Jarwo.
        "Jar, nanti jadi ke pasar jam berapa ?"
        Sebuah pesan singkat masuk di ponsel Jarwo. Darso mengirimkan. Ia bimbang. Apa benar, Jarwo sudah tidak bekerja. Banyak yang bilang begitu, tapi dia tetap tidak percaya. Jika tidak cerita, ia enggan bertanya pada Jarwo.
        "Semoga, Jarwo masih bisa aku temui. Nanti, aku mau bawakan makanan ini. Lumayan, buat makanan anaknya. Pasti, Mita senang sekali dengan kue kecil-kecil itu !"
        "Iya, Mas. Nanti aku siapin. Mau berangkat jam berapa ?"
        "Aku mau mandi dulu, sebentar lagi. Jam sembilan aku coba hubungi Jarwo lagi."
        Pagi berlangsung sangat cepat. Darso belum sempat menulis pesan untuk Jarwo. Tiba-tiba, ia menerima tamu. Tamu itu adalah bosnya Jarwo.