Dua Lembar Kertas Ulangan
Cerpen Yudha Adi Putra
Lembar Yogi
      Aku kesal hari ini, uang saku sedikit. Nanti siang, di sekolah akan bertemu teman-teman. Bisa jadi, tidak membeli makanan. Persiapan memakai seragam sekolah terasa berat. Tugas biologi belum aku kerjakan. Gurunya menyebalkan. Pak Karno memang suka memberi banyak tugas. Tidak tahu dia, kalau siswanya juga ada pelajaran lain.
      "Yogi, kamu berangkat sekolah tidak hari ini ?" teriak Ibuku dari dapur. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Aku masih merapikan baju, belum memakai sepatu.
      "Sebentar, lagian naik motor cepat. Tinggal nyebrang terus lurus terus," jawabku ketus. Tak pamitan dan menjabat tangan. Langsung aku naik motor. Menyusuri jalanan macet karena jam anak pada berangkat sekolah. Sial. Aku terlambat.
Lembar Millen
      Hari pertama mengajar, semoga hari ini menyenangkan. Setidaknya, setelah ini bisa bersenang-senang. Tugas mengajar menyebalkan. Banyak administrasi yang harus dikerjakan. Tulisan ini itu, aku kira tinggal ngomong di depan kelas. Lagian, aku juga tidak senang dengan semua ini. Aku menjalani kuliahku demi orangtuaku. Mereka ingin aku jadi guru. Daripada tidak kuliah, ini lebih baik menurutku. Sesekali, aku masih bisa mengerjakan hobiku. Itu harus, tidak bisa terlambat.
      "Selamat pagi, Mbak Millen. Selamat datang di SMA ini. Nanti, Mbak Millen akan mengajar kelas 12 dan kelas 11. Kebetulan, saya setelah ini ada rapat. Habis rapat, ada pertemuan dengan guru biologi di kecamatan. Jadi, saya tidak bisa menemani. Titip kelas ya, Mbak," ujar Bu Heni. Guru biologi yang menyapaku. Aku membalas senyumnya, secukupnya. Cukup ramah untuk disebut mahasiswa PPL.
      "Bu Heni, nanti selesai kelas apakah ada laporan ? Laporannya mingguan atau setiap pertemuan ya, Bu ?" tanyaku. Aku tidak mau terbebani dengan banyak laporan mengajar. Kalau bisa aku cicil, tentu akan aku kerjakan. Sebisaku, aku tak terlalu menyukai mengajar. Hanya saja, ada hal seru ketika bertemu dengan tingkah lucu anak SMA. Mereka bahagia, masa paling indah.
Lembaran Yogi
      Suasana kelas sudah ramai, banyak yang tidak berangkat. Ada tiga orang izin karena sakit. Lainnya, ada lima orang sedang ikut lomba olimpiade. Di kelas biologi, aku hanya laki-laki sendiri dan dua puluh temanku yang lain perempuan. Sial. Kelas macam apa ini. Andai saja, aku dulu di jurusan IPS. Pasti lebih menyenangkan, tidak bertemu kodok dibelah. Belum lagi, praktikum dan laporannya yang ribet itu.
      "Selamat pagi teman-teman. Perkenalkan, saya Bu Millen. Selama dua bulan ke depan, saya akan menemani kalian belajar. Jadi, saya mahasiswa yang PPL di SMA kalian. Ada beberapa teman saya juga, terima kasih ya !" ujar seorang perempuan berambut poni. Wajah tidak seperti kebanyakan guru. Jutek. Dia sepertinya bukan orang dekat sekolahan. Gaya bicaranya berbeda. Asyik. Ada suasana baru. Paling tidak, cukup untuk menghibur diri karena tak dapat uang saku lebih.
Lembaran Millen
      Kelas pertama hari ini menyenangkan, ada yang aneh. Satu laki-laki di antara dua puluh perempuan. Apa mungkin, dia salah jurusan ? Siapa nama laki-laki tadi. Aku kira, dia anak yang baik. Tulisannya bagus dan tugasnya dikerjakan dengan rapi.
      "Bu Heni, di kelas biologi tadi. Apa benar hanya ada satu laki-laki ?" tanyaku pada Bu Heni. Tentu aku makin penasaran, kenapa bisa begitu.
      "Tidak, Mbak. Ada beberapa yang izin. Lainnya, ada yang sakit juga. Mereka mungkin kelelahan ikut olimpiade. Sebenarnya, yang cowok itu ada lima. Tapi, Yogi tidak ikut. Dia lebih senang menulis puisi dan bermain teater. Mungkin, dia salah jurusan. Tapi, sejauh ini dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik," jelas Bu Heni sebelum kami pulang.
      Aku semakin penasaran, dia suka puisi dan teater ? Tugas biologi yang dikerjakan tepat waktu ? Kubuka ponselku. Ada pesan masuk.
      "Selamat sore, Bu Millen. Saya Yogi. Maaf menganggu waktunya. Saya mau bertanya, apakah tugas untuk pertemuan besok itu dikerjakan di kertas atau diketik ya, Bu ? Terima kasih !" Aku membacanya sambil tersenyum, rupanya dia tidak memperhatikan.
Lembaran Yogi
      Kenapa guru itu tidak membalas pesanku, aku bingung. Tugas banyak sekali. Aku tidak mau nilaiku jelek dan tidak dapat uang saku lagi. Besok akan ada ulangan biologi. Penuh hafalan. Semoga aku bisa. Kalau perlu, aku mau mencontek. Sekarang, setidaknya bisa main game terlebih dahulu. Jeda, di antara banyak tugas dan omongan orang lain. Omongan yang tidak menyenangkan. Menyebalkan sekali sekolah hari ini. Tapi, lumayan. Ada bu guru baru, Bu Millen. Cara menjelaskannya mudah dimengerti. Semoga dia tidak pelit nilai juga. Jadi, bisa mendapat nilai bagus aku saat ulangan.
Lembaran Millen
      Sudah tiba, setahun lebih kita berpisah. Dulu, kita akan menjalani bersama, bukan. Tapi, kini hanya ada aku. Aku tetap melangkah dalam langkah sunyi. Menyusuri kenangan. Berharap pada senyuman bunga. Semoga saja, kita bisa berjumpa. Semoga kamu bahagia, untuk itu aku cukup merasa puas.
      "Bu, kenapa ngalamun. Kita jadi ulangan tidak hari ini ya ?" tanya Yogi di sampingku. Aku kaget, dari mana anak itu datang. Setahuku, bangku di samping tadi masih kosong.
      "Ibu sudah makan ? Saya ada kue, Bu. Mau tidak ?" ia menawari aku kue. Belum sempat aku menjawab. Aku meraih semua buku yang ada. Semua bacaan itu aku rapikan dulu. Tak nyaman.
      "Boleh, kamu sudah belajar belum untuk ulangan nanti ?" tanyaku. Aku melihat keceriaannya. Dia lucu. Meski dia satu-satunya murid laki-laki karena yang lain belum pada berangkat.
      "Ini, Bu. Semua catatan saya sudah saya baca !" ia menunjukkan buku biru. Penuh dengan coretan. Hafalan dan pada sampul halamannya, ada potongan puisi.
Lembaran Yogi
      Sudah, setidaknya aku mengerjakan sebisaku. Tidak mencontek. Tak ada yang memberiku jawaban tidak masalah. Soal dapat aku kerjakan. Semua jawaban tidak ada yang kosong. Aku bisa keluar ruang kelas dengan bangga.
      "Kamu sudah selesai, Yogi ?" tanya Bu Millen. Dia seperti keheranan, aku mengerjakan dengan cepat.
      "Sudah, Bu. Terima kasih !" aku sodorkan kertas jawaban. Ada dua lembar, kertas itu malah jatuh di depan meja. Kami mengambilnya bersama. Pertama kali, aku melihat Bu Millen, mungkin dia ingin dipanggil Mbak. Mbak Millen membenahi rambutnya yang tergerai. Dia cantik.
      Aku keluar kelas, perasaan berdebar. Tak mengerti apa itu tadi. Aku rasa, ada yang aneh. Tidak seperti biasanya. Semoga saja, aku tidak dianggap kurang ajar oleh guruku. Menatapnya, dan menjatuhkan kertas jawaban ulangan. Ah, entahlah. Semoga nilaiku bagus dan aku bisa mendapatkan uang sakun lagi. Jadi, tidak perlu repot-repot mengemasi roti untuk jadi bekal.
Lembaran Millen
      Selepas ulangan, aku menemui temanku di ruang guru. Perasaan apa tadi, aku sudah lama tak merasakannya. Mungkin, sejak kepergian Andre. Aku tak pernah merasa berdebar seperti tadi. Tapi, dia adalah muridku sendiri. Murid yang boleh kubilang bandel, tapi lucu. Murid yang sering menghubungiku tengah malam untuk bertanya tugas, tapi malah berlanjut menceritakan tempat-tempat bersejarah di daerah dekat sekolah.
      "Mungkin, kau sudah jatuh cinta lagi, Millen. Ayolah, seperti tidak pernah merasakannya saja!"
      "Tapi, dia muridku sendiri. Kami berjarak waktu, tiga tahun. Memang, tidak panjang. Rasanya aneh juga. Dia seperti bisa mengerti kesepianku. Guyonannya yang polos, berhasil membuatku tertawa. Bahkan, di antara banyak notifikasi pesan. Aku selalu menanti, kira-kira foto apa yang akan dikirimkannya malam ini. Dia sering bersepeda, mencari tempat bersejarah. Misalnya saja, makam !"
      Begitulah, aku menceritakan perasaanku pada sahabatku. Tak terasa, waktu untuk mengajar tinggal beberapa pertemuan lagi. Aku mulai merasakan nyaman, berbeda. Ada saja kejutannya.
Lembaran Yogi
      Langkah menuju sekolah terasa menyenangkan, aku bisa bertemu Lisa kembali. Sudah lama, kami tidak berangkat sekolah barengan. Akhirnya, dia selesai juga ikut olimpiade. Belajar tiap hari, membuat kami jarang bertemu. Siang nanti, rencananya kami mau ikut basket bersama. Lebih tepatnya, aku bermain basket dan Lisa menonton.
      "Yogi, nanti aku bawakan nasi goreng. Kebetulan, aku masak bersama Ibuku. Jadi, masih ada banyak."
      Begitu pesan Lisa, menambah semangat aku ke sekolah. Pelajaran demi pelajaran berlalu, aku juga menyapa Bu Millen. Tadi, dia tersenyum cantik. Aku juga sempat melihat Bu Millen bertegur sapa dengan Lisa.
Lembaran Millen
      Hari yang aku nantikan, membagikan hasil ulangan. Menangis aku menatap sebuah pemandangan sore. Ada keceriaan masa SMA, bukan pada hasil ulangan. Tapi, pada sebuah pertandingan bola basket. Semua itu, membuat aku tersadar. Aku mencintai dan jatuh cinta, dalam bentuk yang salah. Bukan salah, bukan tidak tepat. Hanya entah, semua pada dua lembar kertas ulangan. Bertuliskan, Lisa dan Yogi.
                        Untuk seorang kawan, selamat hari Guru !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H