Sudah tiba, setahun lebih kita berpisah. Dulu, kita akan menjalani bersama, bukan. Tapi, kini hanya ada aku. Aku tetap melangkah dalam langkah sunyi. Menyusuri kenangan. Berharap pada senyuman bunga. Semoga saja, kita bisa berjumpa. Semoga kamu bahagia, untuk itu aku cukup merasa puas.
      "Bu, kenapa ngalamun. Kita jadi ulangan tidak hari ini ya ?" tanya Yogi di sampingku. Aku kaget, dari mana anak itu datang. Setahuku, bangku di samping tadi masih kosong.
      "Ibu sudah makan ? Saya ada kue, Bu. Mau tidak ?" ia menawari aku kue. Belum sempat aku menjawab. Aku meraih semua buku yang ada. Semua bacaan itu aku rapikan dulu. Tak nyaman.
      "Boleh, kamu sudah belajar belum untuk ulangan nanti ?" tanyaku. Aku melihat keceriaannya. Dia lucu. Meski dia satu-satunya murid laki-laki karena yang lain belum pada berangkat.
      "Ini, Bu. Semua catatan saya sudah saya baca !" ia menunjukkan buku biru. Penuh dengan coretan. Hafalan dan pada sampul halamannya, ada potongan puisi.
Lembaran Yogi
      Sudah, setidaknya aku mengerjakan sebisaku. Tidak mencontek. Tak ada yang memberiku jawaban tidak masalah. Soal dapat aku kerjakan. Semua jawaban tidak ada yang kosong. Aku bisa keluar ruang kelas dengan bangga.
      "Kamu sudah selesai, Yogi ?" tanya Bu Millen. Dia seperti keheranan, aku mengerjakan dengan cepat.
      "Sudah, Bu. Terima kasih !" aku sodorkan kertas jawaban. Ada dua lembar, kertas itu malah jatuh di depan meja. Kami mengambilnya bersama. Pertama kali, aku melihat Bu Millen, mungkin dia ingin dipanggil Mbak. Mbak Millen membenahi rambutnya yang tergerai. Dia cantik.
      Aku keluar kelas, perasaan berdebar. Tak mengerti apa itu tadi. Aku rasa, ada yang aneh. Tidak seperti biasanya. Semoga saja, aku tidak dianggap kurang ajar oleh guruku. Menatapnya, dan menjatuhkan kertas jawaban ulangan. Ah, entahlah. Semoga nilaiku bagus dan aku bisa mendapatkan uang sakun lagi. Jadi, tidak perlu repot-repot mengemasi roti untuk jadi bekal.
Lembaran Millen