Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan di Sore Hari

11 Februari 2023   07:50 Diperbarui: 11 Februari 2023   07:49 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan di Sore Hari

Cerpen Yudha Adi Putra

            Kemana Jarwo harus pinjam uang lagi. Hidup dari gali lubang tutup lubang. Utang ada di mana-mana. Di benak Jarwo, terbayang wajah penagih utang dan kemarahannya. Berbagai ancaman bermunculan membayang. Banyak orang mencarinya dan menagih dengan cara menyeramkan, siap melumat habis harta satu-satunya, yakni sawah.

            "Tapi, tidak apa-apa sawah digadaikan dulu. Sekarang juga sedang musim gagal panen. Banyak hama dan cuata tak menentu," usul Jarwo memecah keheningan Sabtu pagi.

            Mereka duduk bertiga di depan rumah. Istrinya mengamati sebuah dompet. Anak perempuannya sibuk menata buku. Keresahan membayar utang itu dirasakan Jarwo. Lelah bukan hanya fisiknya, perasaannya tak karuan. Menahan kepedihan, hidup miskin tak selamanya menyenangkan.

            Suara anak perempuan Jarwo, bernama Erni terdengar pelan, sayu, dan seperti ketakutan.

            "Nanti kalau sawahnya dijual. Kita bermain dan menanam di mana, Bu ? Kemarin saja, aku menanam cabai di pematang sawah. Aku tidak mau sawah digadaikan, Bu !"

            "Iya, nduk. Ibu juga tidak mau. Semoga, kita bisa segera dapat rezeki buat bayar utang. Kalau begitu, sekarang Erni berangkat sekolah ya. Belajar yang rajin. Bekal makanan sudah ada. Hati-hati ya,"

            "Erni pamit dulu, Bu !"

            "Erni pamit sekolah ya, Pak !"

            "Iya. Hati-hati di jalan, maaf Bapak tak punya uang untuk memberimu uang saku." Ujar Jarwo dengan meraih tangan anak perempuannya.

            Erni tertunduk. Ia kecewa. Tapi, melihat senyum Ibunya. Langkahnya dimantapkan untuk terus berjalan ke sekolah.

            Tidak terdengar suara. Seorang perempuan paruh baya muncul. Istrinya Jarwo melirik menatapnya. Perlahan menarik nafas dan berdiri berjalan menuju perempuan itu.

            "Mari, Bu. Silakan, ada yang bisa saya bantu ? Tumben pagi-pagi sekali." ujar istrinya Jarwo.

            Perempuan tua tadi mendekat. Mukanya kuyu, seperti tidak tidur semalaman.

            "Ada daun salam sama singkong tidak, Bu ?" ujarnya seperti mengadu. Suaranya lirih tapi tetap terdengar. Jarwo turut menyambutnya.

            "Mau masak sayur apa ini, Bu ?" tanya Jarwo.

            "Aku punya tahu dan santan kelapa. Coba, nanti mau dimasak apa. Ini masih bingung juga, makanya aku datang ke rumahmu, Jar !"

            Jarwo terdiam. Ia teringat utang lagi. Istrinya mengambilkan kantong plastik berisi singkok dan memetik daun salam.

            "Kurang tidak ini, Bu ?"

            "Wah, kebanyakan." jawab yu Parmi, Ibunya Jarwo sendiri.

            Kedua perempuan tadi lalu saling bercerita. Di desa, perempuan bisa saling meminta untuk bahan masakan. Tak ada perhitungan. Tak ada yang merasa dimanfaatkan. Saling membantu, tapi tidak soal utang. Hanya saja, istrinya Jarwo tak kunjung memasak. Ia larut bersama cerita soal hujan yang selalu datang tiba-tiba. Tentang masakan, tentang hari-hari di desa.

***

            Jarwo terpana menatap burung berkicau di sore hari. Andai, ia tak punya utang. Pasti bisa membeli burung. Matanya perlahan malah berkaca-kaca. Merindukan masakan seorang perempuan berarti dalam hidupnya.

            "Mas, utang harus segera dilunasi. Kalau tidak, kami tidak akan segan untuk menyita sawah dan rumah."

            Perkataan penagih utang justru membuyarkan kerinduannya. Ketika masih kecil, ia senang sayur bayam masakkan Ibunya. Kini, istrinya tak bisa memasak sayur bayar itu. Bukan karena tidak bisa memasak. Tapi, tak ada uang meski hanya sekedar untuk membeli bayam di warung.

            "Mas, apa mau masak sayur bayam saja ?"

            "Aku tidak punya uang." kata Jarwo pada istrinya. Perempuan yang dinikahinya sepuluh tahun lalu. Mungkin, dia adalah berkat Tuhan yang tak terkira.

            "Tenang. Nanti, aku bisa datang ke tempat Yu Darmi. Katanya, dia sedang banyak bayam."

            Sampai dijawaban istrinya itu, Jarwo terdiam. Ia mulai membayangkan, berapa banyak kontribusi perempuan yang kadang, tidak bisa diuangkan ? Dan Jarwo merasa, itu kepemilikkan penting. Bahwa tidak selalu, bahagia perlu uang. Tidak semua pengetahuan perempuan tidak diperhitungkan.

            "Bagaimana soal penagih utang itu, Mas ?"

            "Sudah, sudah."
            "Bagaimana, Mas ? Sudah dapat jalan keluarnya ? tanya istri Jarwo dengan antusias.

            "Belum tahu. Nanti malam, aku mau ke tempat Yudha. Mau pinjam uang lagi!"

            "Dasar !"

            Mereka tertawa. Perempuan di sore hari menjadi tampak cantik. Jarwo bersyukur, meski banyak utang. Ia selalu punya cara untuk bahagia dan tidak tertekan, tentu dibantu istrinya.

Godean, 11 Februari 2023

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun