Ketika hendak pergi, Jarwo melihat. Sepeda tua tergeletak. Membawa beban berat. Semacam kayu bakar. Sudah diduga, pasti dia datang. Dia dengan mulit cerewet Berbicara soal apa saja. Termasuk, apa yang dimakan. Dimana membelinya. Jarwo diam. Enggan berkomentar.
"Mau beli makan ? Punya uang ?" kata orang itu. Ia menukar kayu dengan tempe. Ibunya Jarwo pembuat tempe.
Tak ada jawaban. Jarwo pergi dengan harapan. Bisa makan mangut lele. Perjalanan dinikmati. Ada kecelakaan. Seorang perempuan. Masih mudah. Tertabrak kereta. Mengakhiri hidupya. Ia mengandung. Tak disangka. Ada mangut lele di tangan Jarwo. Seketika tumpah, tak bisa dimakan.
"Katanya beli mangut lele ?" tanya Ibunya Jarwo.
"Sudah pergi tadi ? Kenapa sepedanya masih ada di depan rumah ?"
Ibunya Jarwo tahu. Ia tak senang dengan orang itu. Memang menyebalkan, tapi masih saudara.
"Kalau masih saudara kenapa ?"
"Dia bawa mangut lele. Untukmu !"
Jarwo menangis. Kejam. Ternyata ada orang peduli. Mangut lele membawa maaf. Akan komentar. Keingintahuan tanpa dasar.
***
Perjalanan Jarwo dan polisi berlanjut. Mereka makan dan minum. Bersama banyak cerita lucu. Tentang pasar dibongkar.
"Kenapa Anda begitu suka dengan mangut lele ?" tanya polisi.
"Mangut lele membawa maaf."