"Kita akan segera kaya."
"Bagaimana caranya ?"
"Entah. Sekarang tidurlah dulu."
Senyuman Jarwo menghiasi malam. Tak tahan, ia bangun. Kembali menulis cerita. Keesokkan harinya, ada koran tiba. Tulisan Jarwo berhasil dimuat. Hatinya senang, istrinya tidak. Tagihan tiba. Uang habis. Beras utang. Sabun kering. Penderitaan tiba. Hari menjadi cepat. Siang tiba, tanpa senyuman.
***
Melihat banyak siswa pulang. Jarwo juga ikutan. Tak terasa. Ada banyak pendatang. Mirip seperti dirinya. Menghampiri pedagang tua. Ia menjual roti. Entah, Jarwo jadi lapar.
"Membuka usaha di dekat sekolah. Mungkin, itu akan bermanfaat !"
"Mereka apa punya uang ?"
"Ada senyuman yang penting !" jawab Jarwo pada istrinya. Mereka mulai sepakat. Setelah malam, akan menjual semua perhiasan. Membuka warung kecil. Berjualan mie dan makanan. Semua terencana, kecuali berjualan tulisan.
"Kalau kita tetap buka fotocopy. Itu bisa membantu ?"
"Semua siswa pasti fotocopy bukan ? Untuk tugas sekolah. Untuk mengajar. Guru juga senang bolos mungkin ?"
"Semoga saja." Istrinya Jarwo kesal. Tak berminat untuk membuka fotocopy.
***
Fotocopy sudah buka. Perlahan, tampak siswa berdatangan. Bukan hari pertama. Sekarang, sudah tahun ketiga. Berjalan seorang perempuan. Bertanya soal makanan.
"Tak ada. Kalau mau puisi, di sini ada ?"