Gang Samping Sekolah
Cerpen Yudha Adi Putra
Hujan turun deras. Semua basah. Berlarian siswa SMK. Harap cemas mereka. Pelajaran segera di mulai. Siswa SMP mulai pulang. Angkringan ramai dengan pembeli. Jajanan pasar sudah habis. Pembeli korden masih tampak antre. Semua memilih berteduh. Jalanan sepi. Pengendara motor takut melaju. Pepohonan tertiup angin. Tanah basah menggenang air. Semua seperti tumpukan kenangan.
Kenangan, dimana Jarwo memutuskan keluar. Keluar dari pekerjaan menjanjikan. Hidup adalah pilihan. Pilihan penuh risiko. Setelah tidak mengajar. Jarwo hanya berjualan. Apa saja, termasuk tulisan. Ia menjajakannya lewat koran. Tiada hari tanpa menulis. Meski bosan, Jarwo tetap menulis. Dan, tidak pernah dimuat.
"Bagaimana kalau kita buka tempat fotocopy?"
"Itu ide yang bagus. Uang dari mana?"
"Aku akan jual cicin pernikahan kita !"
"Kau yakin ?"
"Mungkin."
Istri Jarwo tertunduk lesu. Tak berani membiarkan suaminya diam. Meski menulis, tapi tak pernah ada uang. Itu menyedihkan. Sudah berhari-hari, mereka tak bicara. Jarwo gemar mengurung diri. Kalau sedang menulis, tak mau diganggu.
"Kebiasaanmu menyebalkan ! Kau bisa jadi penulis, tapi tidak berarti apatis."
"Itu kontemplasi namanya."