Berada dalam Ruangan
Cerpen Yudha Adi Putra
        Samar suara Haryo terdengar. Kebencian muncul dalam diri Jarwo. Peristiwa tentang Haryo selalu diingatnya. Ibarat minum jamu, kepahitan menjadi ingatan. Jarwo sudah ingat betul perilaku Haryo. Harus bagaimana lagi, mereka berada dalam satu ruangan yang sama. Jarwo terdiam. Malas berkomentar tentang usulan Haryo.
        "Kalau semua uang itu hanya untuk pembangunan. Lalu, petani dapat apa ? Apa kondisi mereka tak cukup memprihatinkan ?" seru Haryo. Semua yang datang berdecak kagum. Berani sekali lelaki paruh baya itu.
        "Sudah. Cukup, kita harus berlaku adil. Semua anggota mendapatkan kesempatan. Di sini ada pedagang, tidak hanya petani saja !"
        Gebrakan meja terdengar. Jari telunjuk Haryo menuding-nuding lawan bicaranya. Suasana menjadi tegang. Hanya Jarwo, santai mulai menyalakan rokok.
        "Pak, di sini tidak boleh merokok." ujar seorang perempuan lirih. Ada perasaan tidak enak. Menegor salah satu tamu mereka.
        "Kami ini petani. Orang sawah. Tak paham dengan percakapan seperti ini. Untuk apa kami dilibatkan ? Bikin pusing saja !" balas Jarwo. Kepulan asap bermunculan. Dalam benak Jarwo, asap itu adalah harapan. Muncul sebentar, lalu menghilang. Hanya untuk memunculkannya. Perlu banyak perjuangan.
        "Tapi, perluasan lahan untuk gereja sudah siap. Kita akan mulai membangun minggu depan. Panen sudah tidak bisa diandalkan. Bagaimana nasib petani seperti kami ?"
        "Uang ganti rugi bisa kami cari. Tanah untuk bertani, itu tak akan pernah bisa kembali." Kata Haryo meninggalkan ruangan.
        Percakapan siang itu terhenti. Banyak pertanyaan muncul Tak pernah ada kata sepakat. Untuk pertama kalinya, Jarwo setuju dengan Haryo. Sahabat lama yang dulu sempat berkhianat demi mendapatkan Lastri. Istrinya Haryo sekarang, dulu adalah kekasih Jarwo.
        Menjadi petani, tentu tidak mudah. Banyak risiko dan kesulitan. Kalau ada pilihan merantau, pasti sudah dilakukan Jarwo. Dengan penuh harapan, Jarwo tetap bertani. Merawat sawah. Mendoakan supaya panen. Itu menjadi pemberiannya pada hidup. Wujud syukur pada kedua orangtuanya yang telah tiada.
        "Kalau kamu cuma di sawah, mana mau Lastri sama kamu, Jar !"
        Tak akan terlupa. Ucapan Haryo ketika Jarwo tengah asyik menanam padi. Awalnya tak mempedulikan, hingga akhirnya Lastri memilih meninggalkan Jarwo.
***
        Suatu siang, Jarwo pergi membeli pupuk. Tak sempat bertegur sapa dengan tetangganya. Ada yang terlupa, sebuah tali. Menaiki sepeda tua, Jarwo terus menuju koperasi. Berharap, bisa bertemu Lastri. Selain cantik, Lastri merupakan anak dari kepala desa. Bekerja sebagai penjaga koperasi petani.
        "Mbak Lastri. Saya mau beli pupuk. Ini uangnya ya," ujar Jarwo mengulurkan beberapa uang recehan. Tak sempat menghitung, Lastri langsung memberikan sebuah kertas. Kertas itu nantinya dapat ditukar dengan pupuk. Begitulah, karena tugas Lastri hanya mencatat.
        "Ini Mas Jarwo. Bisa diambil di sana ya ! Talinya sudah bawa belum ?"
        Jarwo terdiam, senyuman menghiasi wajah cantik Lastri. Terkenang, pekerjaan membeli pupuk bisa menjadi begitu menyenangkan.
        "Mas. Ini saya beli pupuk !" kata Jarwo sambil menunjukkan kertas.
        Seorang lelaki paruh baya kemudian meminta Jarwo mendekatkan sepedanya. Meski bertubuh kecil, lelaki itu kuat mengangkat pupuk seberat hampir sama dengan tubuhnya. Lima puluh kilo, mungkin bisa lebih.
        "Mbak Lastri cantik sekali ya, Jar. Makin betah kerja di sini. Meski angkat-angkat, tapi tiap hari bisa liat Mbak Lastri ya semangat."
        "Wah. Kamu bisa saja, Har. Gimana bekerja di koperasi ?" tanya Jarwo pada Haryo, sahabatnya. Sudah lama tak berjumpa. Haryo bekerja juga di koperasi. Ia tak punya sawah. Kedua orangtuanya guru.
        "Awal bekerja, badanku sakit semua. Pegal-pegal. Angkat beban berat. Beberapa hari berlalu, sudah dapat obatnya. Lihat senyumannya Mbak Lastri."
        Kemudian, dua sahabat itu tertawa bersama. Melanjutkan perjalanan ke sawah, Jarwo mulai termenung. Mungkin, itu alasan kenapa Lastri mengabaikannya. Banyak pikiran buruk bermunculan.
        "Jarwo, tadi ada Mbak Lastri mencarimu. Katanya, kamu langsung pergi saja dari koperasi setelah membeli pupuk," ujar Yu Darmi setelah selesai menanam padi di sawah samping milik Jarwo.
        "Ada apa memangnya, Bu ?"
        Yu Darmi geleng-geleng. Ia melihat ke arah pemantang.
        "Itu dia, Mbak Lastri."
        Jarwo tertunduk. Kesal dan kecewa. Nampak di depannya, ada Haryo dan Lastri naik sepeda bersama di sore hari.
Godean, 07 Februari 2023
Dara Dinanti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H