Pagi itu, mungkin menjadi mimpi burung yang nyata bagi Jarwo. Tepat di depan matanya, ia melihat Bapaknya tak bernyawa. Sebagai seorang petani desa, Bapak Jarwo sering bekerja di malam hari. Ada yang mengira itu mencari kekayaan dengan ilmu hitam.Â
Tak jarang, Bapaknya Jarwo dituduh berkenalan dengan penghuni gaib sawah. Tak ada yang pernah tahu kenapa Bapaknya Jarwo meninggal. Hanya saja, sebelum meninggal. Ibunya Jarwo melihat sebuah luka lembab di punggung suaminya. Ia hanya diam saja, tak tahu. Sengaja ia simpan pertanyaan itu, untuk dirinya sendiri.
"Gereja tak bisa ikut membantu memakamkan." ucap seorang berbaju hitam. Pada lehernya, ada tanda putih. Membawa kalung dengan hati-hati. Kitab berwarna biru dipeluknya.
"Tapi, saya akan melayani untuk doa kedukaan." ucapnya lirih. Seolah, tidak mau banyak orang mendengar.
Banyak warga desa berkabung, terutama petani. Selain rajin, Pak Karno selalu menjaga sawah. Tak ada burung berani mendekat padi. Ada saja jebakan dari Pak Karno. Kematian Pak Karno, Bapaknya Jarwo cukup mengejutkan. Bahkan, berita kematiannya sampai pada kepala daerah.
"Seorang petani meninggal dengan tiba-tiba ketika mencakul sawah. Bisa saja, dia kelelahan." komentar salah seorang pejabat dengan ringan.
Sejak kematian Bapaknya Jarwo, ada yang berbeda dari perlakuan gereja. Anggapan bermunculan. Bahkan, tak jarang menghina keadaan Ibunya Jarwo dengan menyebutkan sebagai istri tidak tahu diri.Â
"Kalau saja bukan karena istrinya. Aku yakin, Pak Karno tak akan meninggal secepat ini."
"Ada apa dengan istrinya ?"
"Pembawa sial. Anak yang dilahirkan saja cacat. Tak bisa berjalan."
Padahal, dulu Pak Karno sangat rajin ke gereja waktu muda. Menjadi pengurus di berbagai acara. Sejak menikah, malah hanya pergi ke sawah.
***