Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Pagi dan Kicauan Pleci

4 Februari 2023   10:00 Diperbarui: 4 Februari 2023   10:01 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan Pagi dan Kicauan Pleci

Cerpen Yudha Adi Putra

Seduhan kopi pagi ini terasa hambar. Kalau tidak karena hujan, Jarwo mungkin sudah pergi. Hujan deras tiba kala pagi. Jam sembilan belum tepat. Kicauan burung pleci terdengar.

Jarwo memilih membuat kopi. Rumah dalam keadaan sepi. Bunga-bunga basah terguyur hujan. Hanya ada pleci dan hujan pagi. Berharap, kopi dapat menghangatkan badan. Sarapan belum ada.

"Kalau saja ibu masih ada. Aku pasti tidak kelaparan. Ada makanan meski hanya nasi saja !" ujar Jarwo sambil mengaduk kopi. Gula diberikan. Takut kopinya pahit. Hidupnya sudah pahit. Kopinya jangan.

Langkahnya menuju depan rumah. Menatap burung pleci melompat dalam sangkar. Mungkin upaya agar tidak dingin. Tetangga sekitar menutup pintunya. Tak ada ibu-ibu menyapu. Hujan turun dengan deras. Jarwo semakin merindukan ibunya.

"Dulu, pasti ibu berlari-lari mengambil jemuran," gumam Jarwo teringat bajunya belum tercuci.

Lamunan Jarwo di mulai, ingat ketika dia masih mahasiswa semester akhir. Ibunya begitu ingin dia cepat lulus. Utang keluarga sudah banyak. Bapaknya Jarwo meninggal karena sakit. Bukan meninggalkan warisan. Tapi utang yang banyak. Selain untuk berobat, dulu Bapaknya Jarwo terkenal dengan sebutan penyabung ayam.

"Kamu harus lulus, Jarwo. Ada banyak harapan keluarga padamu. Adekmu besok juga sudah mau SMP. Soal utang, jangan dipikirkan. Bisa kita perjuangkan perlahan." ujar Ibunya Jarwo sambil membungkusi risoles. Mereka berjualan di pasar. Ada risol mayo, lemper, kue apem, sampai jus pesanan tetangga.

"Tapi, Bu.." belum sempat melanjutkan bicara. Tiba, Barno adiknya Jarwo.

"Bu. Aku mau beli sepatu. Kemarin, waktu sekolah aku dihina sama teman-teman. Sepatuku bolong dan sudah jelek. Aku tidak mau ke sekolah kalau belum punya sepatu." ujar Barno. Tak disangka. Anak lelaki kelas enam SD itu berbicara sambil menangis.

Jarwo terdiam. Ia tak jadi bercerita kalau penelitiannya juga butuh uang. Semua keperluan kuliahnya harus dibayarkan juga. Suasana semakin menyedihkan, tapi Ibunya Jarwo tetap berusaha menenangkan keadaan.

"Nanti kita beli sepatu ya. Sekarang, tolong bantu Ibu dulu. Itu, Mas Jarwo juga sudah siap berangkat kuliah !"

"Siap Bu," ujar Barno.

Memang benar, hidup akan baik-baik saja asal Ibu ada, gumam Jarwo.

***

Perjuangan hidup terus berlanjut. Setelah ibunya meninggal, Jarwo putus kuliah. Ia bekerja sebagai penjual burung. Pekerjaan yang awalnya hanya hobi. Mungkin karena kebutuhan, ia lanjutkan. Belum lagi, tuntutan dari adiknya.

"Mas, teman-temanku pada punya laptop dan gawai. Aku sendiri yang tidak punya." ujar Barno ketika berpamitan dengan Jarwo.

Pagi sebelum hujan tadi, Barno sudah berangkat sekolah. Karena tak tahu harus berbuat apa lagi, Jarwo hanya menangis dalam kamar. Hingga kelelahan dan terbangun. Sudah hujan dan dia kembali mendengar burung plecinya berkicau.

"Apa aku jual saja burung pleciku ? Tapi itu tidak akan cukup untuk membeli laptop dan gawai !" gumam Jarwo sambil menyeruput kopi manisnya.

Ia ingat betul, masih ada puluhan hutang Bapaknya yang harus dibayarkan. Ketika terasa begitu sesak, bayangan Ibunya muncul kembali.

"Ingat, Jarwo. Kita bisa bercerita soal kesedihan. Kadang itu menjual. Tapi, bukan berbohong. Itu berimanjinasi."

Perkataan Ibunya itu Jarwo ingat betul. Sebagai seorang Ibu rumah tangga, Ibunya Jarwo pandai menulis. Tulisannya ada di koran lokal. Tidak jarang, dari tulisan itu. Mereka melanjutkan hidup.

"Lalu, apa yang harus dilakukan dengan cerita, Bu ?"

"Lanjutkan cerita hidupmu dan hidupi hidupmu. Cerita yang hidup akan sampai pada pembaca. Bukan hanya sekedar diimajinasikan, tapi dihidupi. Kita turut mengalami."

Jarwo seperti mendapatkan tenaga, ia mengambil keyboard lusuh di kamarnya. Uang didompetnya masih lima puluh ribu dia belikan alat OTG untuk menggabungkan keyboard dengan gawainya. Perlahan, ia menulis cerita. 

Entah, soal apa saja. Pagi ini, ia mengawali dengan puisi hujan pagi dan seorang pemuda yang ingin menjual pleci kesayangannya. Tak terasa sampai siang, Jarwo menulis cerita.

"Mas. Plecimu mati. Belum kamu beri makan ya ? Itu makanannya habis. Minumnya juga," kata Barno pulang dari sekolah. Jarwo tak merespon, ia larut dalam cerita.

Godean, 04 Februari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun