Kerap kali Yanti tersipu malu mendengar pujian itu. Tak jarang ada teman lain iri karena ia disukai lelaki pujaan banyak orang. Setelah mulai kuliah, Yanti sering mengingat kembali masa cinta monyet itu. Bukan sebagai sebuah candaan, tapi sebagai harapan. Ia sangat merindukan diperlakukan dengan manis melalui kata-kata.
Akhirnya, dengan sekuat tenangan, Yanti berusaha jatuh hati pada Beno. Mahasiswa calon guru dengan puisi jiplakan. Yanti tahu, tak ada yang asli. Setidaknya, ia mendapatkan perlakuan dengan kata-kata.
"Menurutmu, kenapa orang bisa bahagia dengan kata ? Bukankah tidak semua perkataan bisa membuat orang kenyang?"Â
"Dari kata itu bisa menjelma harapan. Tidak semua bisa menumbuhkan harapan." jawab Yanti dengan kebiasaan sama, menggigit kukunya.
***
Setelah selesai makan, Ani bersiap untuk mengantarkan bunga bersama Ibunya. Sebelum pulang sekolah, ada kawan menghinanya. Awalnya hanya satu orang. Tapi, terus saja bertambah. Semua itu ditujukan pada Ibunya, Yanti.
"Bu, aku boleh tanya sesuatu tidak ?"Â
"Tanya apa sayang ?"Â
Ani terdiam. Tatapannya tertuju pada Ibunya. Barusan, Yanti kembali menggigit kuku. Semua bunga sudah siap dikirimkan. Yanti menjadi penjual bunga. Bisa menerima banyak pesanan dari pernikahan sampai kematian. Bunga itu bersama dalam setiap tahap hidup manusia, begitu jawaban Yanti ketika ditanya.
"Ibu. Kenapa Ibu senang menggigit kuku ?"Â
"Tadi, aku diejek teman-teman. Katanya, Ibuku sering menggigit kuku."