Sekali ucapan itu terdengar. Gunawan mulai memperhatikan. Kawan yang bercerita seolah mendapatkan empati. Bayangan akan kisah perselingkuhan mulai diceritakan. Gunawan kadang tak menjawab. Ia asyik mendengarkan. Seolah, rasa sedih karena diselingkuhi dapat berpindah. Perasaan kecewa karena istri selingkuh dapat berpindah ke Gunawan. Tapi, Gunawan tetap tenang. Setiap cerita yang didengarkan, ia simpan sendiri.
Bagi kawannya, sebagai pengangguran, Gunawan begitu berarti. Selain mau mendengarkan cerita perselingkuhan, apa yang terkatakan tidak menggurui.
"Apa benar. Kemarin, Pak Darto bilang kalau istrinya selingkuh?"
"Tidak tahu. Aku pengangguran."
Begitu jawab Gunawan. Hingga kawan Gunawan bertambah. Jauh lebih menyenangkan berkawan dengan pengangguran dibandingkan pekerja. Bisa menjadi saingan dan malah saling menjatuhkan.
"Aku mau memulai usaha jualan mie ayam. Menurutmu bagaimana, Gun?"
"Menurutku. Benar juga kamu. Lumayan, dekat dengan pasar dan sekolah. Kemungkinan laku keras !"
Jawaban Gunawan membuat hati Pak Agung senang. Sebagai pendengar, Gunawan ditunggu untuk bisa mendengarkan keluhan. Entah soal warung mie ayam yang sepi. Bisa juga tentang harga bahan pokok naik. Ketika bercerita dan didengarkan Gunawan, banyak kawan merasa penatnya hilang. Lalu, kebosanan dan perasaan duka menjadi hilang. Itu berganti dengan harapan.
"Gunawan saja yang pengangguran bisa hidup dengan bersyukur !"
"Tapi, bersyukur tidak sama dengan membandingkan keberhasilan hidup!"
Itu percakapan di pangkalan ojek. Mereka rela menunggu lebih lama, bahkan kehilangan kesempatan untuk makan, asal bisa bertemu Gunawan. Dulu, Gunawan juga pernah mencoba menjadi tukang ojek. Tapi, karena tidak tahan menunggu. Ia memilih menjadi pengangguran.