Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penjual Burung yang Tidak Ramah

20 Januari 2023   16:30 Diperbarui: 20 Januari 2023   16:58 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penjual Burung yang Tidak Ramah

Cerpen Yudha Adi Putra

Setiap pagi kios kecil itu pasti ramai. Kalau sore, banyak bapak-bapak berseragam singgah sebentar. Di sebuah kios kecil, Lik Maryo menjual berbagai keperluan untuk memelihara burung. Ada dua kursi panjang. Kursi yang selalu diduduki orang-orang penting. Dari Pak Bupati sampai Pak Kades hampir seminggu sekali datang. Setidaknya, melepas penat dengan bertemu kawan untuk membeli pakan burung.

                "Pak, semalam saya mencari burung. Dapat dua perkutut ini," kata seorang bertopi hitam. Lelaki itu bersepeda nampak lusuh. Semacam belum makan dua hari. Tubuhnya kurus, tapi kulit hitam karena terbakar terik matahari.

                Lik Maryo tidak menjawab. Ia menunjuk sebuah sangkar kosong di pojok kios. Seolah tahu artinya, lelaki bertopi tadi memindahkan burung tadi dalam sangkar.

                Pembeli lain, mulai berdatang. Mengamati burung perkutut. Membeli pakan untuk ternak kenari. Jangkrik untuk sarapan burung cendet. Ulat kandang sebagai makanan prenjak. Ramai. Ada saja pembeli yang datang. Dan yang paling menarik, seorang perempuan dengan helm kuning. Tiba-tiba menyerobot antrean.

                "Pak, saya beli voer halus untuk burung ciblek!" ujar perempuan itu dan menyerahkan selembar uang sepuluh ribu. Lik Maryo melayani mereka semua. Tanpa kata-kata, semua dikerjakan sendiri.

                Korek mendekati mulut Lik Maryo ketika mulutnya sudah ada rokok apek sisa ronda semalam.

                "Bagaimana dengan perkutut saya, Pak ?" tanya lelaki dengan topi tadi. Ia tak mengerti, seolah sudah menanti semua antrean. Dalam benaknya bertanya, kenapa tak kunjung ada kejelasan. Sebenarnya, ia ingin menjual kedua perkutut. Butuh uang untuk bayar listrik dan iuran ronda malam.

                Tanpa kata, Lik Maryo menyerahkan uang lima puluh ribuan. Lelaki tadi geleng-geleng. Seolah tidak terima dengan perlakuan Lik Maryo. Karena kesal, ia pergi dengan sepeda bututnya. Sampai di perjalanan, tiba-tiba rantainya lepas. Ia mengumpat.

                "Dasar Maryo sialan !" teriaknya sambil menunding ke arah kios. Tidak punya pilihan, ia berjalan dengan sesal menuju rumah. Berharap, kelak bisa menjual perkutut dengan lebih mahal lagi. Paling tidak, mendapatkan ucapan terima kasih.

***

                Sore hari tiba, Lik Maryo mulai menyapu. Kios tempat berjualan pakan itu bukan miliknya. Anak semata wayang yang sudah mapan memperkerjakannya. Percakapan malam setelah dirinya pulang dari rumah sakit selalu teringat. Ia sangat merindukan adiknya.

                "Bapak jaga kios saja, sekalian terapi. Biar ketemu banyak orang. Nanti kalau di rumah saja, Bapak bisa stress dan kumat lagi !" usul Beno. Anak laki-laki kebanggaan Lik Maryo.

                "Tidak ! Kasihan Bapakmu. Nanti kalau ditipu bagaimana ? Kalau ada penjahat ? Belum lagi, membuka usaha seperti itu butuh banyak modal. Bapakmu sudah menghabiskan banyak uang untuk berobat !" cegah Lik Karyo, adik laki-laki Lik Maryo. Seolah tahu betul, kakaknya lebih baik di rumah saja.

                "Aku senang bertemu banyak orang, tapi lebih senang kalau bisa memelihara burung. Sudahlah, Karyo. Benar anakku, nanti uangnya bisa untuk kontrol. Sekarang, aku bisa merasa lebih sehat. Itu lebih dari cukup. Kalau di rumah, nanti bisa stres," ujar Lik Karyo.

                "Terserah kamu, Mas. Aku sudah bilang ya," kata Lik Karyo. Rokok mulai dinyalakan. Tawa kumpul keluarga mulai terasa. Seperti biasa, seolah pencapaian hidup menjadi topik menyenangkan untuk ditanyakan.

                "Pensiunan guru ternyata sekarang hanya berjualan pakan burung? Kalau ditanya begitu, aku malu, Mas sebenarnya," lanjut Lik Karyo.

                "Tidak apa." Jawab Lik Maryo.

***

                Rumah sakit selalu membawa cerita bagi siapa saja yang pernah berada di dalamnya. Entah itu dokter, pasien, bahkan guru seperti Lik Maryo.

                "Terapi akan dilanjutkan minggu depan ya Pak. Sekarang Bapak bisa pulang terlebih dahulu," ujar dokter Inggar. Dokter muda yang juga senang memelihara burung.

                "Sebenarnya, lebih menyenangkan berjumpa dengan hewan. Manusia itu rumit, tapi kalau kita bisa menyapa sisi kemanusiaan. Bisa merasakan kepekaan dan turut hadir dalam penderitaan mereka. Kita bisa bersahabat dengan hewan," ujar petugas kebersihan.

Senyuman Lik Maryo merekah. Ia berjalan dengan gagah. Setelah sembuh nanti, ia akan membuka usaha pakan burung. Untuk merawat waktu, untuk mencintai hidup. Meski tidak ramah, tak masalah. Karena menjadi disleksia tak seindah sebelumnya.

                                                                                                                                Gatak, 20 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun