"Sehat to, Mbah. Saya senang kalau Mbah Darto dalam keadaan sehat. Ini Mbah, soal merti dusun dan rencana kirab budaya," Bandiyo mulai bercerita.
Sudah hampir satu jam, Bandiyo bercakap-cakap dengan Mbah Darso tanpa ada minuman yang menemani. Beberapa kali, Mbah Darso batuk-batuk supaya istri Sutoyo peka. Tapi, tetap saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan.
Setelah Bandiyo pergi, tak lama kemudian nampak Sutoyo membawa kurungan burung. Ia mengambil helm, lalu kembali pergi lagi.
"Kau ini bagaimana ? Jadi perempuan tidak tahu diri. Masa Bandiyo yang datang ke rumah malah tidak kau berikan minum. Kau tidak tahu ? Kalau dia pamong masyarakat yang harus dihormati ? Kedatangan pamong masyarakat seharusnya kau sambut. Setidaknya, itu menunjukkan penghormatanmu!" bentak Mbah Darso pada istri Sutoyo.
"Tapi, Mbah.." ucap istri Sutoyo terbata-bata. Belum sempat ia melanjutkan berbicara, Mbah Darso sudah membanting gelas di samping meja makan.
"Cuma muncul dan membuatkan minum saja tidak kamu lakukan. Kamu disini meski menantu, tapi tetap saja saya anggap menumpang!" teriak Mbah Darso.
Istri Sutoyo hanya terdiam, pipinya mulai basah. Perempuan itu menangis, tanpa tahu maksud kedatangan pamong masyarakat. Sejak saat itu, ia membenci pamong masyarakat, bukan karena orangnya. Tapi, pada kenapa pamong masyarakat yang harusnya melayani malah berada dalam keharusan dilayani, bahkan posisinya seolah didukung oleh banyak orang ?
                                          Sembuh Kidul, 01 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H