Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jabat Tangan Maryadi

29 Desember 2022   22:30 Diperbarui: 29 Desember 2022   22:32 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jabat Tangan Maryadi

Cerpen Yudha Adi Putra

Dalam setiap hajatan atau pesta di desanya, Maryadi selalu terlambat. Ia enggan duduk bersama tetangga yang lain. Pasti berada di belakang panggung, sibuk memastikan semua baik-baik saja. Banyak orang senang dengan peran Maryadi, tapi tidak jarang merasa kalau Maryadi itu membuat risih.

"Kemana saja kamu, Mar. Sudah ditunggu dari tadi, baru muncul," sapa Pak Sunar ketika melihat Maryadi mulai menyalakan rokoknya.

"Tadi, baru ada urusan. Biasa, beresin gelas. Acaranya sudah mulai po ?" tanya Maryadi. Ia datang lima belas menit setelah acara di mulai. Malam itu, ada perayaan natal di desa.

"Itu baru khotbah, habis ini pentas ketoprak. Sengaja dibuat singkat, supaya lebih meriah," ucap Mbah Tomo.

Terdengar suara pendeta khotbah, mereka yang di belakang panggung sibuk mempersiapkan diri untuk tampil. Maryadi juga membantu, tapi ia juga memperhatikan khotbah.

"Khotbah kok nyindir orang lain. Itu perumpamaan atau cibiran ya," komentar Maryadi sambil sibuk menghisap rokoknya.

"Kamu memangnya bisa khotbah, Mar ?" tanya Pak Sunar.

"Ya jelas tidak bisa, paling tidak enggak nyindir orang lain," kata Maryadi.

Omongan Maryadi itu didengar beberapa ibu-ibu yang ada di dapur. Mereka tak menyangka, ungkapan seperti itu bisa diucapkan oleh seorang Maryadi.

"Pengkhotbah itu aneh, dia mengatakan hal yang sebenarnya tidak bisa dilakukannya. Ia mendamba pada idealis palsu," lanjut Maryadi.

 "Memangnya kenapa to, Mar. Lagian hanya beberapa menit, nanti juga diam kalau haus terus dikasih uang biar pergi. Hahahaha," celetuk Pak Daryo.

"Iya, Maryadi komentar saja kalau ada khotbah. Kamu sebenarnya iri atau bagaimana, Mar ?" ucap Pak Sunar.

Maryadi hanya tersenyum. Ia kembali merapikan bajunya. Lelaki setengah baya itu sudah lama menjadi bujang. Bukan karena tidak tampan atau menjadi miskin, mungkin perempuan akan berpikir ulang kalau tahu kebiasaan Maryadi. Maryadi suka terlambat kalau berpikir dan bertindak. Terakhir, ia terlambat membagikan undangan acara natalan di desanya. Akibatnya, banyak tamu undangan yang tidak berangkat.

"Memang seharusnya, kemarin itu Maryadi tidak usah jadi humas membagikan undangan. Jadinya begini, untung saja masih bisa pakai WA," gerutu Pak Daryo.

"Lagian, siapa lagi yang nganggur? Biar belajar bertanggung jawab juga, masa sudah tua tidak tahu malu," Mbah Tomo berujar.

"Lha, saya sudah bagikan semua. Karena sore tadi hujan, jadi terlambat beberapa tempat," Maryadi beralasan.

Acara natal malam itu berlangsung dengan ceria, khotbah cepat, pentas seni dimulai meriah. Tapi, tetap saja ada hal tak terduga muncul. Hujan turun cukup deras ketika pentas seni di mulai. Ada angin bertiup kencang. Beberapa seng hampir tercopot dari tempatnya.

"Hati-hati, ibu-bapak. Hujannya deras sekali. Silakan merapat agak ke tengah," ujar pemuda yang bertugas sebagai pembawa acara.

"Aduh, ini kita tidak menduga kalau bakal turun hujan sederas ini. Ada angin dan kilat juga," keluh ketua panitia.

Maryadi melihat ke tempat acara di adakan. Ia berjalan dengan santai ketika yang lain sibuk memindahkan kursi mereka supaya tidak kehujanan. Ada lelaki memakai batik mendekati Maryadi.

"Mas, kain untuk mengelap kursi basah ada tidak ya ?" kata lelaki itu pada Maryadi.

"Ada, itu di sana," Maryadi menunjuk ke arah samping panggung.

Maryadi melanjutkan langkahnya. Mendekati Pak RT dan mengucapkan salam. Nampak wajah muram Pak RT.

"Itu tadi pendeta, kenapa tidak kamu bantu?" bentak Pak RT.

"Memangnya kenapa?" tanya Maryadi.

"Kamu ini, tidak bisa menghormati,"

"Lha, memangnya kalau pendeta harus dilayani. Dia mau mengambil lap sendiri kok" Maryadi menjawab sambil menatap lelaki berbaju batik tadi. Lelaki itu mendekati mereka.

"Selamat malam, Mas." lelaki tadi mengulurkan tangan. Ia mengajak Maryadi berjabat tangan.

Maryadi hanya tersenyum. Ia meraih tangan basah lelaki berbaju batik itu. Dan, terdengar suara keras. Ada seng terjatuh, tepat di atas kepala pendeta tadi.

Sembuh Kidul, 29 Desember 2022

               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun