"Pengkhotbah itu aneh, dia mengatakan hal yang sebenarnya tidak bisa dilakukannya. Ia mendamba pada idealis palsu," lanjut Maryadi.
 "Memangnya kenapa to, Mar. Lagian hanya beberapa menit, nanti juga diam kalau haus terus dikasih uang biar pergi. Hahahaha," celetuk Pak Daryo.
"Iya, Maryadi komentar saja kalau ada khotbah. Kamu sebenarnya iri atau bagaimana, Mar ?" ucap Pak Sunar.
Maryadi hanya tersenyum. Ia kembali merapikan bajunya. Lelaki setengah baya itu sudah lama menjadi bujang. Bukan karena tidak tampan atau menjadi miskin, mungkin perempuan akan berpikir ulang kalau tahu kebiasaan Maryadi. Maryadi suka terlambat kalau berpikir dan bertindak. Terakhir, ia terlambat membagikan undangan acara natalan di desanya. Akibatnya, banyak tamu undangan yang tidak berangkat.
"Memang seharusnya, kemarin itu Maryadi tidak usah jadi humas membagikan undangan. Jadinya begini, untung saja masih bisa pakai WA," gerutu Pak Daryo.
"Lagian, siapa lagi yang nganggur? Biar belajar bertanggung jawab juga, masa sudah tua tidak tahu malu," Mbah Tomo berujar.
"Lha, saya sudah bagikan semua. Karena sore tadi hujan, jadi terlambat beberapa tempat," Maryadi beralasan.
Acara natal malam itu berlangsung dengan ceria, khotbah cepat, pentas seni dimulai meriah. Tapi, tetap saja ada hal tak terduga muncul. Hujan turun cukup deras ketika pentas seni di mulai. Ada angin bertiup kencang. Beberapa seng hampir tercopot dari tempatnya.
"Hati-hati, ibu-bapak. Hujannya deras sekali. Silakan merapat agak ke tengah," ujar pemuda yang bertugas sebagai pembawa acara.
"Aduh, ini kita tidak menduga kalau bakal turun hujan sederas ini. Ada angin dan kilat juga," keluh ketua panitia.
Maryadi melihat ke tempat acara di adakan. Ia berjalan dengan santai ketika yang lain sibuk memindahkan kursi mereka supaya tidak kehujanan. Ada lelaki memakai batik mendekati Maryadi.