Cerpen Yudha Adi Putra
Kesenangan Tugiman memelihara burung dan membawanya sambil menarik becak sebenarnya sudah sering diprostes penumpang. Temannya juga sudah sering meningatkan. Tapi, Tugiman tetap meletakkan sangkar kecil di samping becak kayuhnya.
      "Kasihan burung itu, nanti stress kalau kamu bawa kemana-mana. Pelihara di rumah saja atau kamu lepaskan," komentar salah satu penumpang.
      "Tugiman, kau ini ada-ada saja. Pelihara burung itu di rumah. Bisa kau letakkan di depan rumah. Bukan kau bawa kemana-mana seperti itu," kata tukang parkir pasar.
      Tugiman ketika dikomentari hanya cengengesan saja. Tidak diperhatikan atau marah. Ia malah sibuk membersihkan sangkar burung. Burung gelatik batu dan prenjak tamu kelabakan saat tangan Tugiman menambangkan air untuk mereka.
      "Ini menyenangkan sekali. Bisa jadi kawan kalau menunggu penumpang. Kalau tiduran terus, malah dikira penarik becak malas," jawabnya sambil senyam-senyum.
      Beberapa pedagang pasar sudah tahu, Tugiman dulunya bekerja sebagai buruh tani. Tapi, ketika musim tanam atau panen sudah selesai. Ia menarik becak. Tugiman selama ini memang dikenal sebagai penarik becak nyentrik. Disebut nyetrik karena dalam becaknya ada beberapa buku dan sangkar burung. Meski hanya penarik becak, Tugiman pandai berbahasa Inggris. Tidak hanya itu, sering yang naik becaknya adalah turis asing.
      "Tugiman, you bisa antar saya ke bookstore ?" ucap seorang turis asing dengan bahasa campuran.
      "Siap, Sir. Sebentar, saya kasih makan burung saya dulu,"
      "Burungmu kau taruh dekat warung dulu saja, nanti you punya becak jadi bau. Saya tidak nyaman jadinya," saran turis tadi.
      "Tidak, Sir. Kalau mau naik becak saya harus sama burung," jawab Tugiman.
      "Man, Tugiman di becak tidak untuk burung, main burung di aviary saja !"
      "No. This is my beloved pet, Sir."
      "Hoee.. Teman-teman. Ada yang bisa ngantar pak turis ke toko buku tidak ? Dia tidak mau naik becakku. Ayo, diantarkan. Jangan takut, dia pasti bayar mahal !" seru Tugiman pada kawannya di samping pasar.
      "Oalah, Man. Tugiman, saya mau naik becak kamu karena kamu bisa bahasa Inggris dan di becakmu ada bukunya. Kenapa kau malah minta teman-temanmu ? Dasar Tugiman," umpat turis asing sambil berlalu menjauh. Tugiman hanya geleng-geleng kepala, merasa turis itu aneh. Tugiman memang merasa dirinya bisa membantu teman-temannya, tapi penarik becak lain kadang mengeluh permintaan turis macam-macam dan mereka tidak bisa berbahasa Inggris.
***
      Becak dan perilaku Tugiman memang nyentrik. Tapi, kalau Mbak Asih yang naik becaknya. Tugiman rela meletakkan sangkar burungnya. Orang mengira, Tugiman jatuh hati dengan Mbak Asih. Janda anak satu yang ditinggal suaminya meninggal. Mbak Asih setiap Jumat pagi selalu langganan memakai becak Tugiman. Barang bawaannya banyak dan Tugiman membantu mempersiapkan semua belanjaannya itu. Becak Tugiman selalu penuh dengan sayuran dan keperluan warung. Bagi Tugiman sebenarnya tidak mempersoalkan dirinya disebut memakai kesempatan dalam kesempitan.
      "Jangan banyak berharap, Man. Ingat, meski janda, tapi Mbak Asih itu sarjana. Tidak sebanding dengan dirimu, kau celana pendek saja tidak lulus," ujar Parjiman ketika mereka bersama menunggu penumpang.
      Meski kadang hanya dibalut candaan, tapi kebenarannya tidak dapat ditolak. Tugiman secara diam-diam memang memendam rasa dengan Mbak Asih. Saat masih pemuda, Asih merupakan kembang desa. Tugiman sering mendengar cerita tentang Asih, sesekali Tugiman memberanikan diri bersepeda lewat rumah Asih. Itu rasanya sudah senang sekali. Sesekali, Asih juga melempar senyum pada Tugiman saat sedang menyirami tanaman. Asih juga mengenal Tugiman, seorang pemuda desa yang rela tidak sekolah demi adik-adiknya bisa sarjana. Itu dulu, sebelum Asih menikah dan Tugiman menjadi bujang lapuk.
      "Mas, becak. Nanti, sampai rumah tolong dibantu menurunkan barangnya ya, Mas." ucap Asih pada Tugiman.
      "Siap, semua beres pokokmen," sahut Tugiman.
      Setiap dipanggil dengan sebutan Mas, Tugiman sangat sensitif. Ia membayangkan bisa menikah dengan Asih. Tapi, segera Tugiman sadar panas matahari menyengat tubuhnya yang berusaha mengayuh becak melewati tanjakkan.
***
      "Aku tidak mau dijodohkan, Pak" ujar anak perempuan pada bapaknya.
      "Ini demi keluarga kita, nak. Hutang bapak dan ibumu. Bapak tidak mau tahu, pokoknya kamu harus menikah dengan Tono," bentak Pak Kustono.
      "Iya, nak. Kamu juga mendapatkan suami yang baik. Ibu yakin, kamu tidak akan kekurangan. Turuti saja permintaan bapakmu itu," ucap istri Pak Kus. Lembut dan lirih, sesekali mengelus rambut Asih.
      Saat usia muda, Asih menikah dengan Tono. Anak dari kawan Pak Kustono. Setelah menikah, Asih bisa mendapatkan fasilitas hidup lebih dari anak perempuan di desa. Asih bisa kuliah dan berjalan-jalan ke luar negeri. Tapi, ada satu hal yang membuat Asih tidak nyaman. Ia tidak mencintai suaminya dan suaminya juga tahu akan hal itu.
      "Apa kau mau bercerai? Aku mengamati, kau tidak bahagia menikah denganku," ujar Tono pada Asih.
      "Tidak, Mas. Aku menjaga permintaan kedua orangtuaku,"
      "Tapi, aku ingin kau juga bahagia," ucap Tono.
      Hingga pada suatu ketika, Tono meninggal karena kecelakaan menabrak penarik becak. Itu membuat Asih menjadi janda.
***
      Tugiman membawa buku di becaknya supaya dia bisa membaca. Ia ingin bisa menjadi sarjana, biar pantas kalau menikah dengan Asih. Tapi, keinginannya hanya menjadi impian saja. Asih menolak cintanya, ia ingin membereskan urusan keluarganya terlebih dahulu. Tugiman hanya bisa membayangkan, Asih serupa burung dalam sangkar yang dibawanya itu. Tugiman tahu, alasan Asih menikah bukan karena cinta, tapi terpaksa untuk membayar hutang. Makanya, kalau yang naik becak Asih, sangkar burung diletakkannya karena pujaan hati sudah bersama.
      "Mas, terima kasih ya. Sudah mengantarkan sampai rumah. Jadinya berapa, Mas?" tanya Asih.
      "Sudah, tidak usah membayar saja. Lagian, besok mau semesteran untuk Nia kan. Pasti, Asih sedang butuh banyak uang. Aku minta lotek saja," ujar Tugiman. Ia merapikan buku di becaknya sambil berharap bisa makan lotek gratis di warung Asih.
      Asih tersenyum dan membantu Tugiman merapikan buku di becaknya. Ia merasakan cerita di masa lalunya hidup kembali. Cerita yang menjadikan alasan Tugiman memilih bekerja demi adik-adiknya bisa sekolah, cerita yang membuat dia menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Semua tentang pengorbanan.
                              Pasar Bibis, 27 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H