Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyum Titin

25 Desember 2022   21:10 Diperbarui: 25 Desember 2022   21:17 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senyum Titin

Cerpen Yudha Adi Putra

Dalam rumah Asih, anak pertamanya menjadi anugerah sekaligus musibah. Seorang anak perempuan yang tumbuh semakin dewasa, nampak cantik menggoda ketika ada lelaki melihat parasnya.

                Sesudah ulang tahun ke duapuluh, anak perempuan Asih makin cantik. Tapi, keadaan suaminya semakin memprihatinkan. Genap tiga bulan, Wito, suami Asih dipecat dari pekerjaannya. Mencoba bergabung dengan ojek daring, namun modal kurang. Asih sehari-hari menemani putri semata wayangnya.

                Selepas pulang dari pasar, Asih memberi tahu suaminya soal cicilan motor dan hutang beras. Dengan hati yang tidak menentu, Wito mencari hutang lagi. Prinsipnya, gali lubang dan tutup lubang. Hanya dengan memanfaatkan belas kasihan saudara, mereka bertahan hidup. Wito menemui Tito untuk meminjam uang. Di rumah Tito, ia berhadapan dengan dua ekor anjing sebelum dipersilakan masuk oleh kawannya itu.

                "Saya kira siapa, ternyata Mas Wito. Lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarnya Mas? Titin sudah sembuh ya ? Akhir-akhir ini saya tidak melihatnya di pusat rehabilitasi." sapa Tito

                "Iya. Lama tidak bertemu ya. Begini, To. Memang Titin sudah tidak rebabilitasi lagi. Bagaimana anakmu, To," ungkap Wito spotan.     

                Seperti berjumpa kawan lama. Mereka akrab dan percapan ditemani kue buatan istrinya Wito,

                "Apa hendak meminjam sesuatu untuk keperluan Titin ?"

                "Benar!"Wito menjawab dengan muka tertunduk. "Ada yang akan meninggal sebenarnya,"

                "Apa? Siapa yang mau meninggal ? Titin sakit?" jawab Tito mulai ikut panik.

                "Titin sudah tidak bisa ditolong lagi. Dia pasti akan meninggal karena kehabisan obat, aku tak tahan lagi merawatnya, sampai aku dipecat. Uangku habis untuk biaya anak itu,"

                "Kasihan sekali anak manis itu," jawab Tito.

                "Kalau kau iba dengan kondisi Titin. Bolehkah aku meminjammu uang?"

                "Maaf, aku tidak punya uang. Semoga saja, ada orang lain yang mau menolong Titin,"

                "Siapa lagi ? Semua sudah aku usahakan, tidak ada lagi," Wito mulai meluapkan kekesalannya.

                Wito beranjak dari kursi. Ia kemudian pergi meninggalkan Tito. Perjalanan ke tempat lain dimulai, ia mencari orang yang mau meminjami uang. Sebelum sampai jalan raya, lelaki yang dahulu dikenal sebagai buruh pabrik itu teringat akan seorang wanita.

                "Mungkin saja, Lilis mau meminjamiku uang. Katanya, dia sekarang menjadi janda dengan anak satu. Usaha salonnya juga sudah semakin bercabang banyak. Ah, aku coba saja. Pasti dia mau," ujar Wito.

                Ia menyaksikan salon dengan foto perempuan yang mungkin puluhan tahun lalu pernah mengisi hatinya. Hanya karena hubungan mereka tidak direstui, mereka tidak jadi bersama. Hingga Wito menikah dengan Asih dan Lilis juga menikah, tapi bercerai.

***

                Wito merasakan dadanya sesak, ketika tahu kalau hutang Asih semakin banyak untuk membeli keperluan Titin, belum untuk keperluan mereka sehari-hari. Putri semata wayangnya itu menderita downsindrome dan harus obat jalan. Tanpa memiliki uang, Wito meminta Asih membawa Titin ke pusat rehabilitasi. Wito sedikit merasa lega saat Titin berangsur mulai terawat, meski pun motor milik Asih harus dijual terlebih dahulu.

                "Keperluan hidup semakin banyak. Uang hasil menjual motor sudah habis, Mas. Apa kau belum dapat pekerjaan juga?" kata Asih sambil membuatkan kopi untuk Wito. Wajahnya nampak murah seperti adukan kopi sajiannya.

                "Ayam di kandang juga sudah habis terjual," lanjut Asih.

                "Aku belum dapat pekerjaan. Bagaimana kalau menjual perhiasan ? Cincin nikah kita ?"

                "Kau gila. Itu cincin adalah hiasan satu-satunya. Lagi pula, itu cicin nikah, Mas. Sebegitu tidak berharganya tanda pernikahan kita?" jawab Asih nampak kesal.

                "Lalu, apa lagi ? Mau mengadaikan rumah ini ? Kita hanya ngontrak dan kontraknya habis dua bulan lagi,"

                "Bagaimana kalau merantau ? Mungkin saja, rezeki kita bukan di kota ini. Kita jual beberapa barang untuk pengobatan Titin dan sisa uangnya untuk ongkos merantau. Tapi, siapa yang mau mengurus Titin?" usul Asih dengan sorot mata penuh harapan.

                "Kau urus Titin saja. Kita akan pinjam uang dari bank. Semoga beberapa barang bisa untuk jaminan. Ada BPKB juga kok,"

                Asih hanya mengangguk. Dalam benaknya, ia berharap keadaan bisa lekas berubah.

***

Beberapa bulan berlalu, Asih kini tinggal berdua dengan anak perempuannya. Suaminya, Wito merantau di kota lain. Tanpa kabar, tanpa kiriman uang bulanan, Asih hidup dengan risiko tiap hari didatangi penagih hutang. Sering ada penagih hutang yang menawari Asih menjadi simpanan mereka. Tapi, Asih menolak. Ia tetap berharap kabar dari Wito. Banyak perbuatan penagih hutang yang membuat dirinya ketakutan, belum lagi kekerasan seksual menimpa anak perempuannya. Titin sering dibawa oleh beberapa orang dengan mengaku petugas dari pusat rehabilitasi. Tapi, bukan terapi yang diterimanya, melainkan pelecehan. Sebagai penyandang disabilitas, Titin tak mengetahui kalau perbuatan beberapa penagih hutang itu merupakan pelecehan seksual.

"Wito ternyata menjadi simpanan janda pemilik salon," kata Tito ketika bertemu dengan Asih.

"Siapa? Janda yang mana?" Asih nampak gelisah.

"Ini. Janda pemilik salon yang buka cabang baru di samping kecamatan,"

Hujan menjadi panah-panah api bagi Asih. Ia terbakar api cemburu. Gambar perempuan yang ditunjukkan oleh Tito, ia kenal betul. Mantan kekasih Wito sebelum mereka menikah. Hanya Titin, alasan sesak di dadanya harus tetap tertahan. Ia teringat, senyum Titin ketika pulang dari pusat rehabilitasi bersama Wito.

                                                                                                Delingsari, 25 Desember 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun