Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bangku Pertama

23 Desember 2022   13:45 Diperbarui: 23 Desember 2022   13:49 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bangku Pertama

Cerpen Yudha Adi Putra

"Burung prenjaknya berapaan, Pak ?" tanya seorang pemuda sambil menunjuk sangkar berwarna coklat.

            "Murah, Mas. Delapanpuluh ribu saja. Itu masih muda, sudah mulai jinak," kata Pak Sarijo.

            Pemuda itu mengernyitkan dahi. Menatap dengan teliti pada burung prenjak. Sesekali mulutnya bersiul, berharap burung itu menyapa dengan kicauan memanggil namanya.

            "Kalau merasa mahal, ditawar saja," Pak Sarijo seolah bisa membaca gerik pemuda itu. Ia mempersiapkan tempat untuk membawa. Sebuah kertas yang dilipat menjadi seperti karung.

            "Limapuluh ribu sepasang ya, Pak. Masa hanya sendirian. Masih muda juga,"

            "Belum boleh, Mas. Harga segitu kalau kulakan juga belum dapat. Empatpuluh lima ribu, Mas. Ini yang paling lincah," Lelaki tua itu menangkap seekor burung di sangkar.

            Belum sempat burung itu terjual, ada pengumuman lewat pengeras suara di pasar. Kalau pasar akan segera tutup lebih awal karena harus kerja bakti. Ada berita kedukaan juga, Pak Aziz. Pemilik tanah tempat mereka berjualan meninggal dunia. Jenazah akan dimakamkan besok jam 2 siang.

            "Ya, Tuhan. Aziz, kenapa kamu pergi begitu cepat ?" keluh Pak Sarijo. Ia tak mempedulikan lagi pemuda yang menawar burung prenjaknya. Semua seolah menjadi gelap. Ada getaran aneh siang itu, tidak seperti waktu jualan pada hari-hari biasanya. Pak Sarijo menimbang-nimbang perasaan dengan bimbang.

            "Lik, ayo segera tutup. Kita kerja bakti di rumah Aziz. Daganganmu sudah laku banyak itu ?" sapa Pak Minto. Pak Sarijo tak menjawab, perasaannya tidak menentu. Nama Aziz, lengkapnya Aziz Pahlewi Ibrahim begitu melekat dengan masa mudanya dulu. Bahkan bisa disebut sahabat, tapi mereka bernasib lain.

            "Kawan kebangganmu sudah meninggal, kita sudah tua rupanya ya? Dia meninggal karena penyakitnya atau ada apa?" tanya Mbah Rontong penjual keris dan pernak pernik hiasan rumah Jawa.

            "Sebulan yang lalu katanya sakit gula dan jantung. Tapi, sudah berobat ke luar negeri. Kemarin sudah jalan-jalan ke sini, katanya cari kabel," Mas Andri ikut bergabung dalam pembicaraan.

***

            Setelah istirahat pertama, anak-anak SMP mulai masuk ke kelas masing-masing. Tapi, Sarijo dan Aziz masih sibuk menghitung uang.

            "Lumayan, jualan hari ini kita dapat banyak. Besok bawa es lebih banyak saja, mereka suka sekali beli es," kata Aziz pada sahabatnya, Sarijo.

            "Tapi, aku tidak punya kulkas. Ini saja karena tetanggaku mau berbaik hati. Aku boleh nitip membuat es lilin di kulkasnya," jawab Sarijo tertunduk.

            "Tenang, di rumahku ada kulkas. Cukup besar, muat untuk puluhan es lilin. Jadi, kita bisa buat setelah pulang sekolah,"

            "Wah, asyik. Ayo kita masuk kelas dulu, nanti bisa kena marah Bu Sukarsih lagi,"

            Sarijo dan Aziz adalah kawan baik, meski mereka berasal dari keluarga yang berbeda secara ekonomi. Orang tua Sarijo hanya buruh tani yang tidak punya sawah, sedangkan orang Aziz adalah seorang pengusaha mebel.

            "Ayo kita lari, siapa yang paling cepat sampai kelas. Dia yang menang," kata Aziz khas guyonan anak SMP.

            "Siapa takut, ayo" Sarijo berlari mendahului Aziz.

            Ketika sampai di depan pintu kelas 9 D, mereka berebut masuk. Pintu yang hanya terbuka satu itu tidak muat untuk masuk dua anak sekaligus, apalagi badan Sarijo cukup besar dan membawa termos es. Mereka berdesakan, hingga akhirnya Sarijo mengalah, tapi Aziz malah terdorong masuk ke dalam kelas. Ia tersungkur dan terpeleset, kepalanya terantuk bangku yang pertama. Teriak teman-teman kelas mulai terdengar. Anak-anak perempuan terkejut, melihat darah tetes di sekitar bangku yang pertama di kelas itu.

            "Panggil guru saja," kata Roni ketua kelas.

            "Aku takut, ada darah," saut yang lainnya.

            "Kamu ini Sarijo, hati-hati. Jangan asal mendorong saja," seru kawan lain.

            Sejak kejadian itu, pertemanan Aziz dan Sarijo merenggang. Orang tua Aziz tahu kalau anaknya mendapatkan jahitan lima di kepalanya karena berebut masuk kelas dengan Sarijo. Bapaknya menganggap itu bukan masalah, tapi lain dengan Ibunya. Ibunya Aziz melarang untuk bermain dengan Sarijo, pembawa sial katanya.

            "Aku tidak mengerti, semua berlalu begitu saja. Aku juga tidak mendorong Aziz, ia langsung berlari saja," jawab Sarijo ketika ditanya guru.

            "Temanmu jadi sakit ini. Kamu tanggung jawab. Coba kalau kamu yang kepalanya dijahit, memangnya mau ?" Bu Sukarsih yang terkenal galak mulai berbicara.

            "Iya, dasar anak nakal. Makanya, kalau sudah bel masuk itu segera masuk ke kelas. Bukan malah keluyuran," Pak Haryo turut berkomentar.

            "Sudah, ini semua kecelakaan. Kita tidak mau hal seperti ini terjadi. Sekarang, Sarijo kamu minta maaf sama temanmu, Aziz," Pak Kepala Sekolah mencoba menengahi.

            Sarijo melakukan seperti yang diminta Kepala Sekolah. Ia menyesal, tapi di sisi lain tidak mengerti salahnya dimana. Hari berganti hari, Sarijo masih tetap berjualan di kantin kejujuran. Bisa dibilang, kantin itu menolong hidupnya. Ia bisa mendapatkan uang saku dari berjualan, apalagi sejak jualannya itu didukung oleh Aziz. Sebagai anak SMP, tentu membawa makanan di antara teman-temannya akan merasa malu, bahkan minder.

            "Wah, jualannya laris. Untung banyak pasti," kata Aziz pada Sarijo yang sedang asyik menghitung uang.

            "Puji Tuhan, lumayan buat jajan. Eh, tapi uangku kemarin kurang lima ribu. Tidak masalah sebenarnya, sekalian sedekah ya katamu. Hahahaha," jawab Sarijo.

            "Maklum, kantin kejujuran. Tapi, tetap saja banyak yang tidak jujur,"

            Hari berikutnya, dagangan Sarijo tidak laku banyak. Hampir separuh masih ada. Sarijo nampak sedih. Apalagi mendengarkan ucapan kakak tingkatnya.

            "Itu pasti makanannya tidak bersih, bikin penyakit. Kemarin, ada kawanku yang diare seminggu gara-gara beli makanannya Sarijo," ucapan itu terdengar Sarijo ketika berjalan di lorong kelas antara kelas 7 dan kelas 8.

            "Itu tidak benar. Kemarin, aku lihat juga. Uang di kantin kejujuran itu ditambahi oleh Aziz, pasti kalau bukan karena Aziz. Uang Sarijo tidak ada. Baik sekali Aziz itu," tambah seorang murid perempuan.

            Ketika di kelas, Sarijo menemui Aziz. Ia bermaksud bertanya soal uang dan makanan yang dijualnya. Tapi, Aziz sudah pulang duluan. Ada kabar kalau orangtuanya meninggal.

***

            Keramaian pasar dan kicauan burung yang dijualnya masih terdengar. Sarijo menangkap burung prenjak dalam sangkar coklat dan menyerahkan pada seorang pemuda. Selembar uang lima puluh ribu diterimanya dan ucapan terima kasih tanpa tatapan. Lelaki paruh baya itu masih belum menerima, kalau kabar kematian sahabatnya itu nyata. Ditatapnya sekeliling, pasar masih ramai. Hari Minggu dan suasana pagi yang cukup cerah.

            "Pak Aziz telah meninggal, tapi sepertinya masih suri. Ia menanti seorang sahabatnya, perlahan nama Jo, Jo, dan Jo dipanggilnya," kata seorang petugas yang menagih retribusi pasar.

            Dalam beberapa saat, Pak Sarijo berbenah. Ia membereskan semua dagangannya, ada yang dititipkan pada lapak di sampingnya, siapa tahu ada yang minat membeli burung kicaunya. Bergegas menuju rumah dengan pendapa di belakang pasar. Beberapa orang sudah tiba di sana, termasuk anak-anak Pak Aziz.

            "Itu sahabat Bapakmu, salami dia," kata seorang perempuan paruh ba

            Dua orang anak perempuan mendekat dan meraih tangan Pak Sarijo. Mereka yang datang tercengang. Apa yang dikatakan perempuan tadi membuat kaget. Bagaimana mungkin, seorang pengusaha kaya, bahkan memberikan tanahnya untuk dibuat pasar, ternyata bersahabat dengan pedagang burung.

            Di dekat tempat tidur Pak Aziz, Pak Sarijo menatap tubuh lemas Pak Aziz. Wajah itu seolah tersenyum pada Pak Sarijo. Kedua lelaki itu nampak saling tersenyum. Tapi, tangan Pak Aziz kian dingin. Pak Sarijo berdoa dan ia merasakan dadanya sesak, pipinya basah.

                                                                                                Pasar Sleman, 23 Desember 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun